Yang dimaksud desain adalah rancangan,
pola, atau model. Mendesain kurikulum berartimenyusun rancangan atau menyusun
model kurikulum sesuai dengan visi dan misi sekolah.Tugas dan peran seorang desainer
kurikulum, sama seperti seorang arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara
mengkontruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model
bangunan yang akan dibangun.
Beberapa ahli merumuskan macam-macam
desain kurikulum yaitu:
1.Eisner dan
Vallance (1974) membagi desain menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan
proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum aktualisasi
diri,kurikulum rekontruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademik.
2.McNeil
(1977) membagi desain kurikulum menjadi empat model, yaitu model
kurikulumhumanitis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan
kurikulum subjek akademik.
3.Saylor,
Alexander dan Lewis (1981) membagi desain kurikulum menjadi kurikulum subject
matter disiplin, kompetensi yang bersifat spesifik atau kurikulum
teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan
kurikulum yang berdasarkan minat individu.
4.Brenan
(1985) mengembangkan tiga jenis model desain kurikulum, yaitu kurikulum yang
berorientasi pada tujuan (the objective model), model proses dan model
kurikulum yang didasarkan kepada analisis situasional.
5.Longstreet
dan Shane (1993) membagi desain kurikulum ke dalam empat desain, yaitudesain
kurikulum yang berorientasi pada masyarakat, desain kurikulum yang berorientasi
pada anak, dan desain kurikulum yang bersifat elektrik.
Manakala kita kaji desain kurikulum
yang dikemukakan para ahli kurikulum itu memiliki kesamaan-kesamaan.
Selanjutnya kita akan mengkaji beberapa model desain kurikulum berikut ini.
A. Desain Kurikulum Disiplin Ilmu
Menurut
Longstreet (1993) desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang
berpusatkepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang
dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini
dinamakan juga model kurikulum kurikulumsubjek akademis yang penekanannya
diarahkan untuk pengembangan intelektual siswa. Paraahli memandang desain
kurikulum ini berfungsiuntuk mengembangkan proses kognitif atau pengembangan
kemampuan berpikir siswa melalui latihan menggunakan dan melakukan proses
penelitian ilmiah (McNeil, 1990).
Model
kurikulum yang berorientasi pada pengembangan intelektual siswa dikembangkan
oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu masing masing. Mereka
menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai siswa baik menyangkut
fakta, konsep maupun teori yang ada dalam setiap disiplin ilmu mereka
masing-masing. Selain menentukan materi kurikulum, juga para pengembang
kurikulum menyusun bagaimana melakukuan pengkajian materi pembelajaran melalui
proses penelitian ilmiah sesuai dengan corak masalah yang terkandung dalam
disiplin ilmu. Jadi, dengan demikian dalam desain model ini bukan hanya
diharapkan siswa semata-mata dapat menguasai materi pelajaran sesuai dengan
disiplin ilmu, akan tetapi juga menguasai proses berpikir melalui proses
penelitian ilmiah yang sistematis.
Dalam
implementasinya, straegi yang banyak digunakan adalah strategi ekspositori.
Melalui strategi ini, gagasan atau informasi disampaikan oleh guru secara
langsung kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan
logika, dan dukungan faktor yang dianggap relevan. Siswa dituntut untuk membaca
buku-buku atau karya-karya besar dalam bidangnya untuk dimengerti, dipahami,
dan dikuasai. Selanjutnya, penguasaan materi disiplin imu ituijadikan kriteria
dalam keberhasilan implementasi kurikulum.
Evaluasi
yang digunakan bervariasi sesuai dengan tujuan mata pelajaran. Dalam pelajaran
humaniora evaluasi dilakukan dalam bentuk essay. Mata pelajaran kesenian diukur
atau dinilai berdasarkan unsur subyektifitas. Matematika dinilai berdasarkan
penguasaan aksiomanya, buka sekadar kebenaran dalam menghitung. Penilaian ilmu
alam diberikan daam bentuk pengujian proses berpikir, bukan sekadar benar dalam
jawaban.
Salah
satu kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu atau disebut juga kurikulum
subjek akademis adalah Man: a Course of Study (MACOS), yang dirancang
untuk memperbaiki proses perbaikan pengajaran ilmu – ilmu sosial dan
humanistis. Kurikulum ini diperuntukkan untuk siswa – siswa sekolah dasar.
Dalam paket kurikulum itu terdiri dari buku, film, poster, permainan dan
perlengkapan kelas lainnya. Pengembangan kurikulum mengharapkan siswa dapat
menggali faktor – faktor penting yang menjadikan manusia sebagai manusia.
Melalui perbandingan dengan binatang, anak menyadari akan kemanusiannya. Dengan
membandingkan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya anak akan memahami
adanya aspek universal dari kebudayaan manusia.
Tujuan
utama kurikulum MACOS adalah perkembangan intelektual yaitu membangkitkan
penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dengan memberikan serangkaian
cara kerja yang memungkinkan anak mampu menganalisis kehidupan sosial walaupun
dengan cara yang sederhana. Melalui kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti
observasi, percobaan, penyusunan, dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin
ilmu sosial, melakukan inkuiri, diharapkan anak dapat mengambil banyak manfaat.
Terdapat
tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu: subject
centered curriculum, correlated curriculum, dan integrated
curriculum.
1.
Subject
Centered Curriculum
Pada subject
centered curriculum, bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata
pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran sejarah, ilmu bumi,
kimia, fisika, berhitung dan lain sebagainya. Mata pelajaran-mata pelajaran itu
tidak berhubungan satu sama lain. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas
atau pada kebiasaan belajar mengajar, setiap guru hanya bertanggung jawab pada
mata pelajaran itu diberikan oleh guruyang sama, maka hal itu juga dilaksanakan
secara terpisah-pisah. Oleh karena iorganisasi bahan atau isi kurikulum
berpusat pada mata pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulum ini juga
dinamakan separated subject curriculum.
2.
Correlated
Curriculum
Pada
organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan
tetapimata pelajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata pelajaran
sejenisdikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi (broadfield),
seperti misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam
bidang studi IPS. Demikian jugadengan mata pelajaran, biologi, kimia, fisika,
dikelompokkan menjadi bidang studi IPA.
Mengkorelasi
bahan atau isi materi kurikulum dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan,yaitu:
a)
Pendekatan
struktural,
dalam pendekatan
ini kajian suatu pokok bahasan ditinjau dan beberapa mata pelajaran sejenis. Seperti
misalnya, kajian suatu topic tentang geografi tidak semata-mata ditinjau dari
sudut geografi saja, akan tetapi juga ditinjau dari sejarah, ekonomi, atau
mungkin budaya.
b)
Pendekatan
fungsional,
pendekatan ini
didasarkan kepada pengkajian masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, suatu topik tidak diambil dari mata pelajaran tertentu akan tetapi
diambil dari apa yang dirasakan perlu untuk anak, selanjutnya topic itu dikaji
oleh berbagai mata pelajaran yang memiliki keterkaitan. Contohnya masalah “kemiskinan”
ditinjau dari sudut ekonomi, geografi dan sejarah.
c)
Pendekatan
daerah,
pada pendekatan
ini materi pelajaran ditentukan berdasarkan lokasiatau tempat. Seperti mengkaji
daerah ibukota ditinjau dari keadaan iklim, sejarah, sosial budayanya,
ekonominya, dan lain sebagainya.
3.
Integrated
Curriculum
Pada
organisasi kurikulum yang menggunakan model integrated, tidak lagi
menampakkannama-nama pelajaran atau bidang studi. Belajar berangkat dari suatu
pokok masalah yangharus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit.
Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akan tetapi juga
mencari dan menganalisis faktasebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar
melalui pemecahan masalah itudiharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi
pada segi intelektual saja akan tetapiseluruh aspek seperti sikap, emosi, atau
keterampilan.
B. Desain Kurikulum Berorientasi pada
Masyarakat
Asumsi
yang mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah, bahwa tujuan darisekolah
adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
kebutuhanmasyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.
Contoh
desain kurikulum ini seperti yang dikembangkan
oleh Smith, Staley dan Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamentals
of Curriculum (1950); atau dalam Curriculum Theory yang disusun oleh
Beaucham (1981). Sebagaimana yang dilangsir oleh Rusman, mereka merumuskan
kurikulum sebagai sebuah desain kelompok social untuk dijadikan penglaman
belajar anak di sekolah. Artinya, permasalahan yang dihadapi dan dibutuhkan
oleh kelompok social, harus menjadi bahan kajian peserta didik di sekolah.
Ada
tiga perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, yaitu
perspective status quo (the status quo perspective), perspective
reformis (the reformis perspective), dan perspektif masa depan (the
futuristik perspective).
1.
Perspektif
Status Quo (the status quo perspective)
Rancangan
kurikulum ini diarahkan untuk melesatarikan nilai-nilai budaya masyarakat.Dalam
perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuandan
keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa
yangdibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Yang dijadikan dasar oleh
perancangkurikulum aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
Salah
seorang tokoh yang berpengaruh dalam menentukan relevansi dengan kebutuhan
sosial masyarakat adalah Franklin Bobbit. Ia mengkaji secara ilmiah
berbagai kebutuhan kurikulum. Ia berpendapat bahwa sekolah sebagai suatu
lembaga pendidikan formal harus mendidik anak agar menjadi manusia dewasa dalam
masyarakatnya. Oleh sebab itu perlu dikaji berbagai aktivitas yang dilakukan
oleh orang dewasa. Dan itulah yang semestinya menjadi isi kurikulum yang harus
diajarkan kepada anak didik. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukannya Bobbit
menemukan kegiatan-kegiatan utama dalam kehidupan masyarakat yang disarankan
untuk menjadi isi kurikulum sebagai berikut:
a)
Kegian
berbahasa atau komunikasi sosial.
b)
Kegiatan
yang berhubungan dengan kesehatan.
c) Kegiatan
dalam kehidupan sosial seperti bergaul dan berkelompok dengan orang lain.
d)
Kegiatan
menggunakan waktu senggang dan menikmati rekreasi.
e)
Usaha
menjaga kesegaran jasmani dan rohani.
f)
Kegiatan
yang berhubungan dengan religious.
g) Kegiatan
yang berhubungan dengan peran orang tua seperti membesarkan anak, memelihara
kehidupan keluarga yang harmonis.
h)
Kegiatan
praktis yang bersifat vokasional atau keerampilan tertentu.
i)
Melakukan
pekerjaan sesuai dengan bakat seseorang.
Pada
kehidupan masyarakat, menurut Bobbit tidak akan terlepat dari aspek-aspek
diatas, oleh karena itu isi kurikulum mestinya menyangkut hal-hal itu. Tiap kegiatan
menurut Bobbit dapat dirinci lagi dalam kegiatan-kegiatan yang lebih khusus
untuk lebih mangarahkan tujuan dan kegiatan siswa di sekolah.
Disamping
kegiatan-kegiatan yang harus dikuasai seperti apa yang dilakukan oleh orang
dewasa dalam prespektif ini juga menyangkut desai kurikulum untuk memberi
keterampilan sebagai persiapan untuk bekerja (profesi). Oleh sebab itu sebelum
merancang isi kurikulum para perancang perlu terlebih dahulu menganalisis
kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik sehubungan dengan tugas atau
profesi tertentu. Dari hasil analisis itu kemudian dirancang isi kurikulum yang
diharapkan lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.
2.
Perspektif
Pembaharuan (the reformist perspective)
Dalam
prespektif ini kurikulum dikembangkan untuk lebih meningkatkan kualitas
masyarakat itu sendiri. Kurikulum reformis (pembaharuan) menghendaki peran
serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam
prespektif ini harus berperan untuk mengubah tatanan sosial masyarakat.
Menurut pandangan reformis, dalam proses
penggunaan pendidikan sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin untuk
kepentingan elit yang berkuasa untuk mempertahankan strukltur sosial yang sudah
ada. Dengan demikian, masyarakat lemah akan tetap berada dalam
ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, menurut aliran ini, pendidikan harus mampu
mengubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan
nonformal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan
pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
Tokoh
yang termasuk dalam prespektif reformis diantaranya adalah Paulo Freire dan
Ivan Illich. Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari pemecahan
sosial tidak akan memadai. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mestinya
harus mampu merombak tata sosial dan lembaga-lembaga sosial yang sudah ada dan
membangun struktur sosial baru. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang
dikembangkan negara bersifat opresif dan tidak humanistis serta digunakan
sebagai alat golongan elit untuk mempertahankan status quo.
3.
Perspektif
Masa Depan (the futurist perspective)
Prespektif
masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekontruksi sosial, yang
menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan
sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakan
kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Setiap individu harus mampu
mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahaman tersebut akan
memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.
Yang
memelopori desain kurikulum rekonstruksi sosial diantaranya adalah Harold Rug
sekitar tahun 1920-1930-an. Rug melihat adanya kesenjangan antara kurikulum
yang diberikan di sekolah dengan kenyataan di masyarakat. Oleh karena
masyarakat merupakan asal dan tempat kembalinya para siswa, maka menurut Rug
siswa harus memahami berbagai macam persoalan di masyarakat. Melalui
pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehya, diharapkan siswa dapat
mengidentifikasi dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan
demikian kurikulum sekolah akan benar-benar memiliki nilai untuk kehidupan
masyarakat.
Tujuan
utama dalam kurikulum prespektif ini adalah mempertemukan siswa dengan
masalah-masalah yang dihadapai umat manusia. Para ahli rekonstruksi sosial
percaya, bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapat
dipecahkan melalui “Bidang Studi Sosial” saja, akan tetapi oleh setiap disiplin
ilmu termasuk di dalamnya, ekonomi, estetika, kimia, dan matematika. Berbagai
macam krisis yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian dari isi
kurikulum.
Ada
Tiga Kriteria yang harus diperhatikan dalam proses mengimplementasikan
kurikulum ini. Ketiganya menurut pembelajaran nyata (real), berdasarkan pada
tindakan (action), dan mengandung nilai (values). Ketiga kriteria tersebut
adalah pertama, siswa harus memfokuskan kepada salah satu aspek yang ada di
masyarakat yang dianggap perlu untuk diubah; kedua, siswa harus melakukan
tindakan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat itu; dan ketiga, tindakan
sisawa harus didasarkan kepada nilai (values), apakah tindakan itu patut
dilaksanakan atau tidak; apakah memerlukan kerja individual atau kelompok atau
bahkan keduanya.
Dalam
mengorganisasi kegiatan belajar siswa disusun berdasarkan tema utama. Selanjutnya
tema itu dibahas kedalam beberapa topic yang relevan. Topic itulah yang selanjutnya
ditindaklanjuti, dibahas dan dicari penyelesaiannya melalui latihan-latihan dan
kunjungan-kunjungan.
Mengenai
evaluasi pembelajaran diarahkan kepada kemampuan siswa mengartikulasikan isu
atau masalah, mencari pemecahan masalah, mendefinisikan ulang tentang problema,
memiliki kemauan untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu. Oleh karena
itulah, evaluasi pembelajaran kurikulum rekontruksi sosial dilakukan secara
terus-menerus pada setiap saat.
C. Desain Kurikulum Berorientasi pada
Siswa
Asumsi
yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk
membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari
kehidupan anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada peserta didik menekankan
kepada peserta didik sebagai sumber isi kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi
isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan peserta didik sebagai peserta
didik.
Anak
didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan anak adalah makhluk yang sedang
berkembang, yang memiliki minat dan bakat yang beragam. Kurikulum harus dapat
menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka. Dalam mendesain kurikulum yang
berorientasi pada peserta didik, Alice Crow (Crow &Crow, 1955:192) menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1)Kurikulum
harus disesuaikan dengan perkembangan anak
2)Isi
kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap dianggap berguna
untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
3)Anak
hendaknya di tempatkan sebagai subjek belajara yang berusaha untuk belajar
sendiri. Artinya pesrta didik harus didorongkan untuk melakukan berbagai
aktifitas belajar, bukan hanya sekedar menerima informasi dari guru.
4)Diusahakan
apa yang dipelajari peserta didik sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan
dan dipandang baik dari sudut guru atau dari sudut orang lain akan tetapi
ditentukan dari sudut anak itu sendiri.
Desain
kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua
perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d masyarakat (the child-in-society
perspective) dan perspektif psikologi (the psychological curriculum
perspective).
1.
Perspektif
kehidupan Anak di Masyarakat
Francis
Parker, seorang tokoh yang menganjurkan siswa sebagai sumber kurikulum percaya
bahwa hakikat belajarbagi siswa adalah apabila siswa belajar secar riil dari
kehidupan mereka di masyarakat. Kurikulum bagi parker harus dimulai dari apa
yang pernah dialamai siswa seperti pengalaman dalam keluarga, lingkungan fisik
dan lingkungan sosial mereka, serta dari hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
dipandang dari perspektif kehidupan siswa di masyarakat, isi kurikulum harus
memuat sisi kehidupan siswa sebagai peserta didik.
Berbeda
dengan kurikulum konvensional, menurut Parker proses pembelajaran bukan hany
menghafal dan menguasai materi pelajaran seperti yang tertera pada buku atau
teks, akan tetapi bagaimana seorang anak itu belajar dalam kehidupan nyata di
masyarakat. Proses pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual
dengan memahami sejumlah teori dan fakta saja, akan tetapi bagaimana proses
belajar itu dapat mengembangkan seluruh aspek kehidupn siswa. Misalnya, belajar
tentang bahasa, anak tidak tidak perlu menghafal aturan tata bahasa, akan
tetapi bagaimana aturan tata bahasa itu diterapkan dalam percakapan sehari-hari
di masyarakat. Materi kurikulum serta pengalaman belajar dalam perspektif ini
adalah membawa anak pada situasi nyata di masyarakat. Belajar adalah proses berpengalaman.
Materi pelajaran harus terkait dengan kehidupan nyata. Dengan demikian,
manakala anak dapat menyelesaikan pendidikanya, mereka tidak akan merasa asing
dengan kehidupan masyarakat.
Dari
penjelasan di atas, maka kurikulum berorientasi pada anak dalam perspektif
kehidupan di masyarakat, mengharap materi kurikulum yang dipelajari di sekolah
serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai
persiapan agar mereka dapat hidup di masyarakat. Anak dituntut bukann
mempelajari berbagai macam teori atau berbagai konsep yang dihubungkan dengan
kehidupan nyata. Dengan demikian, apa yang dipelajari di sekolah relevan dengan
kenyataan di masyarakat.
2.
Perpektif
Psikologis
Dalam
perspektif psikologi, desain kurikulum yang berorientasi pada siswa, sering
diatikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistic, yang muncul sebagai
reaksi terhadap proses pendidik yang hanya mengutamakan segi intelektual.
Menurut para pengembang kurikulum dan perspektif ini, tugas dan tanggung jawab
pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan segi intelektual siswa saja,
akan tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk
manusia yang utuh.
Aliran
Humanis percaya bahwa fungsi kurikulum adalah menyediakan berbagai pengalaman
belajar yang menyenangkan untuk setiap siswa sehingga dapat membantu
mengembangkan pribadi siswa secara utuh dan menyeluruh. Tujuan pendidikan
adalah proses perkembangan pribadi secara dinamis, yaitu pertumbuhan ideal,
integritas, dan otonomi pribadi. Inti dari tujuan kurikulum humanis aktualisasi
diri. Manusia yang memiliki kualitas dan kemampuan seperti itu, bukan hanya
ditandai dengan perkembangan kognitif saja, akan tetapi perkembangan dalam
estetika dan perkembangan moral, seperti perkembangan menjadi manusia pekerja
yang baik dan manusia yang memiliki karakter. Kurikulum ini juga muncul sebagai
reaksi terhadap psikologi Behaviorisme yang menganggap tingkah laku manusia itu
bersifat mekanistik yang menekankan kepada pengaruh lingkungan.
Menurut
pendidikan humanistic setiap manusia memiliki potensi, punya kemampuan, dan
kekuatan untuk berkembang. Segala potensi yang dimilikinya itu sangat menetukan
dalam proses perkembangan tingkah laku. Oleh karena itulah, kurikulum didesain
untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.
Kurikulum
humanistik sangat menekankan kepada adanya hubungan emosional yang baik antara
guru dengan siswa. Guru harus mampu membangun suasana yang hangat dan akrab
yang memungkinkan siswa dapat mencurahkan segala perasaannya dengan penuh
kepercayaan. Selain itu, guru juga harus berperan sebagai sumber, yang mampu
memberikan bahan pelajaran yang menarik serta mampu memperlancar proses
pembelajaran. Melalui situasi dan kondisi yang demikian, diharapkan guru dapat
mendorong serta membantu mereka mengaktualisasikan diri. Untuk itu ada tiga hal
yang harus dilakukan guru dalam mengimplementasikan kurikulum ini: pertama,
dengarkan secara menyeluruh berbagai ungkapan siswa, kedua, bersikaplah
respek pada siswa, dan ketiga, bersikaplah wajar dan alamiah jangan
mengada-ngada dan penuh kepura-puraan.
Kurikulum
humanistik menekankan kepada integrasi, yaitu kesatuan pribadi secara utuh
antara intelektual, emosional, dan tindakan. Oleh karena prinsipnya demikian,
maka kurikulum humanistic harus dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dan
utuh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Organisasi kurikulum tidak
mementingkan sequence, sebab, dengan sequence yang kaku siswa tidak mungkin
dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Sequence dalam kurikulum
humanistic harus mencakup elemen-elemen tentang nilai, konsep, sikap, dan
masalah. Dari hal-hal tersebut, disususn kegiatan-kegiatan yang memungkinkan
siswa mengembangkan elemen-elemen itu.
Tidak
seperti pada kurikulum subjek akademis dimana pelaksanaan evaluasi di arahkan
untuk melihat kebehasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran, pelaksanaan
evaluasi dalam kurikulum humanistic lebih ditekankan pada proses belajar.
Kriteria keberhasilan ditentukan oleh perkembangan anak suapaya menjadi manusia
yang terbuka dan berdiri sendiri. Kurikulum humansitik mengevaluasi berbagai
kegiatan yang telah dilaksanakan, dan bagaimana kegiatan tersebut mampu
memberikan nilai untuk kehidupan masa yang akan dating. Proses pembelajaran
yang bagus menurut kurikulum ini adalah manakala memberikan kesempatan kepada
siswa untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
D. Desain Kurikulum Teknologis
Model
desain kurikulum teknologi difokuskan kepada efektivitas program, metode, dan
bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektive teknologi telah
banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di
lapanganindustri dan militer. Desain sistem intruksional menekankan kepada
pencapaian tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan
bahan-bahan ajar.
Teknologi
mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerapan
hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi
pertama yang berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencaan yang
sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran.
Penggunaan dan pemanfaatan alat tersebut semata-mata untuk meningkatkan
efektivitas dan efesiensi pelanajaran. Dengan penerapah hasil-hasil teknologi
sebagai alat, diasumsikan pembelajaran akan lebih berhasil secara efektif dan
efesien. Contoh penerapan hasil-hasil teknologi itu diantaranya adalah
pembelajaran dengan bantuan komputer (computer assisted-instruction),
pembelajaran melalui radio, gilm, video dan lain sebagainya. Pernahkan anda
mempelajari materi pelajaran Bahasa Inggris melalui kaset? Nah, itu adalah
model desain kurikulum dengan menggunakan media dalam bentuk pembelajaran
individual. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris melalui kaset, anda belajar tahap
demi tahap. Dalam setiap tahapan sudah ditentukan tujuan yang harus dicapai,
materi/pelajjaran yang harus dipelajari, cara bagaimana mempelajarainya sampai
pada menentukan evaluasi keberhasilannya.
Teknologi
sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyususnan program pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus
sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Proses pembeljaran diarahkan
untuk mencapau tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran itu diukur
dari sejauh mana siswa dapat menguasai atau mencapai tujuan khusus tersebut.
jadi, penerapan teknologi sebagai suatu sistem tidak ditentukan oleh penerapan
hasil-hasil teknologi akan tetapi begaimana merancang implementasi kurikulum
dengan pendekatan sistem.
Seperti
yang telah kita pelajari sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama
lain saling berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Dengan
demikian, akhir suatu proses pembelajaran adalah ketercapaian tujuan yang
dirumuskan sebelumnya. Segala daya upaya yang dilakukan guru diarahkan untuk
mencapai tujuan. Untuk melihat efektivitas proses dalam suatu sistem, maka
tujuan yang dirumuskan harus dapat diukur, bukan tujuan tang bersifat abstrak
dan umum; semakin tujuan itu jelas dan spesifik, maka semakin jelas juga
merancang proses pembelajaran serta semakin jelas pula menetapkan kinerja
keberhasilan.
Kurikulum
teknologi, banyakdipengaruhi oleh psikologi belajar behavioristik. Salah satu
dari ciri teori belajar ini adalah menekankan pola tingkah laku yang bersifat
mekanis seperti yang digambarkan dalam teori stimulus-respons. Lebih lanjut
dalam pandangannya tentang belajar kurikulum ini memiliki karakteristik seperti
berikut:
1.Belajar
dipandang sebagai proses respon terhadap rangsangan
2.Belajar
diatur berdasarkan langkah-langkah tertentu dengan sejumlah tugas yang harus
dipelajari
3.Secara
khusus siswa belajar secara individual, meskipun dalam hal-hal tertentu bisa
saja belajar secara kelompok.
Menurut
McNail (1990), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian
perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Oleh karena itu tujuan umum
dijabarkan kedalam tujuan-tujuan khusus. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil
dari setiap mata pelajaran (disiplin ilmu). Semua siswa diharapkan dapat
menguasai secara tuntas tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
Sebagaimana
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, maka organisasi bahan pelajaran
kurikulum teknologis memiliki ciri-ciri: pertama, pengorganisasian materi
kurikulum berpatokan pada rumusan tujuan; kedua, materi kurikulum disusun
secara berjenjang; dan ketiga, materi kurikulum disususn dari mulai yang
sederhana menuju yang kompleks.
Selanjutnya
untuk efektivitas dan keberhasilan implementasi kurikulum teknologi hendaklah
memeprhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.Kesadaran
akan tujuan, artinya siswa perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk
mencapai tujuan. Oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan apa yang harus
dicapai.
2.Dalam
pembelajaran siswa diberi kesempatan mempraktikan kecakapan sesuai dengan
tujuan.
3.Siswa
perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian siswa perlu
menyadarai apakah pembelajaran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.
Sumber: Sanjaya, Wina.2008. kurikulum
dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
0 komentar:
Posting Komentar