A. Pengertian Kurikulum
Banyak
orang yang menganggap kurikulum berkaitan dengan bahan ajar atau buku-buku
pelajaran yang harus dimiliki anak didik, sehingga perubahan kurikulum identik
dengan perubahan buku pelajaran. Benarkah demikian? Apakah kurikulum hanya
berkaitan dengan bahan ajar? Apakah aktivitas siswa mempelajari bahan ajar
tidak termasuk kurikulum? Persoalan kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar
akan tetapi banyak persoalan lainnya termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan,
persoalan materi pelajaran, serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait
dengan hal itu.
Istilah
kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga zaman Yunani kuno yang
berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai
jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan
tempat berpacu atau tempat berlari mulai dari start sampai finish.
Selanjutnya
istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan
memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam
penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah,
bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum memang diperuntukkan untuk
anak didik, seperti yang diungkapkan Murray Print, (1993) yang mengungkapkan
bahwa kurikulum meliputi:
1. Planned learning experiences;
2. Offered within an educational
institution atau program;
3. Represented as a document; and
4. Includes experiences resulting from
implementing that document.
Print
(Wina Sanjaya, 2008: 4) memandang bahwa sebuah kurikulum meliputi perencanaan
pengalaman belajar, program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam
sebuah dokumen seta hasil dari implementasi dokumen yang telah disusun.
Dari
penelusuran konsep, pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian,
yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar
dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum
sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik,
merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan
praktik pendidikan, (Saylor, Alexander & Lewis, 1981).
Pengertian
kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang
dikemukakan oleh Robert M. Hutchins, (1936) yang menyatakan: “The curriculum
should include grammar, reading, rhetoric and logic, and mathematic, and
addition at the secondary level introduce the great books of the western world.”
Dalam
konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitaannay dengan usaha
untuk memperoleh ijazah. Ijazah sendiri pada dasarnya menggambarkan kemampuan.
Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah
menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampauan tersebut
tercermin dalam nilai setiap mata pelajaran yang terkandung dalam ijazah itu.
Siswa yang belum memiliki kemampuan atau belum memperoleh nilai berdasarkan
standar tertentu tidak akan mendapatkan ijazah, walaupun mungkin saja mereka
telah mempelajari kurikulum tersebut. Dengan demikian, dalam pandangan ini
kurikulum berorientasai kepada isi atau materi pelajaran (content oriented).
Proses pembelajaran di sekolah yang menggunakan konsep kurikulum demikian,
penguasaan isi pelajaran merupakan sasaran akhir proses pendidikan. Untuk
mengecek apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum biasanya
dilaksanakan tes hasil belajar.
Maka
yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah yang dipelajari siswa dalam setiap
mata pelajaran itu? Ya, manakala kita kaji, yang dipelajari dalam setiap mata
pelajaran itu adalah ilmu pengetahuan sesuai dengan nama setiap mata pelajaran.
Misalnya, ketika anak mempelajari mata pelajaran IPS, maka pada dasarnya mereka
mempelajari ilmu pengetahuan tentang ilmu sosial. Demikian juga ketika siswa
mempelajari mata pelajaran IPA, maka pada dasarnya mereka sedang belajar ilmu
pengetahuan alam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kurikulum sebagai mata
pelajaran pada hakikatnya adalah kurikulum yang berisikan bidang studi.
Kurikulum
sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses
perencanaannya memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.Perencanaan
kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut
menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
2.Dalam
menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti
tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
3.Perencanaan
dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi
pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran,
semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Pandangan
yang menganggap kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran merupakan pandangan
yang dianggap tradisional, walaupun sebenarnya masih banyak dianut orang dan
mewarnai kurikulum yang berlaku dewasa ini.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak terhadap
berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai
suatu institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam keutuhan
dan tuntutan kehidupan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak
saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat
cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan
bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat
menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia
pekerjaan.
Tuntutan-tuntutan
baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut, mengakibatkan pula
pergeseran makan kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai mata
pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum
adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar
sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah).
Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra maupun
ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung
jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi,
wawancara dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena
memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.
Sedangkan, tugas-tugas lain seperti membantu orang tua bekerja di ladang, atau
membantu memasak dan lain sebagainya, walaupun pekerjaan semacam itu bermanfaat
untuk kehidupan siswa, bukanlah kurikulum, karena pekerjaan dan aktivitas
tersebut sama sekali di luar tanggung jawab guru.
Banyak
tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis
L. Caswell dan Campbell, (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “… all
of the experiences children have under the guidance of teacher”. Demikian
juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai:
“… those experiences of the child which the school in any way utilizes or
attempts to influence”. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Gilles, S.P,
McCutchen, dan A.N. Zechiel: “… the curriculum … the total experience with which the school deals in educating
young people.”
Pendapat-pendapat
di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine, (1945), yang mengatakan: “Curriculum is
interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences
which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or
not.” Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty, (1965), Bagi dia kurikulum itu adalah “all of the
activities that are provided for the students by the school.” Demikian juga
Saylor dan Alexander, (1956), yang menyatakan: “the curriculum is the sum
total of school’s efforts to influence learning, whether in the classroom, on
ht pelayground, or out of school.” Bagi mereka kurikulum itu bukan hanya
menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh
usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar
kelas atau bahkan di luar sekolah.
Pergeseran
pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain
disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh
penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang
psikologi belajar. Pandangan baru dalam psikologi menganggap bahwa belajar itu
bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku
siswa. Dengan demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan
perilaku. Tentu saja perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa
memiliki pengalaman belajar. Oleh sebab itu dalam proses belajar, pengalaman
dianggap lebih penting daripada hanya sekadar menumpuk sejumlah pengetahuan.
Kalaulah
kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa maka untuk
memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum
sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran
yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus
dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan
suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum
tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi
pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan
tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman
belajar.
Bagaimana
menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukankah pekerjaan yang
sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalaman yang
tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu
pengalaman dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena
keluasannya itulah, maka makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
Kritikan
dan ketidaksepahaman terhadap konsep tersebut, memunculkan konsep yang
menganggap kurikulum sebagai suatu program atau rencana untuk belajar. Pendapat
kurikulum sebagai perencanaan belajar di antaranya dikemukakan oleh Hilda Taba.
Taba, (1962), mengatakan: “A
curriculum is a plan for learning; therefore, what is known about the learning
process and the development of the individual has bearing on the shaping of a
curriculum.”
Pendapat
yang menganggap kurikulum sebagai program atau rencana belajar seperti
dikemukakan Hilda Taba di atas, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Daniel
Tanner dan Laurel Tanner, (1975), yang
menyatakan bahwa kurikulum adalah perencanaan yang berisi tentang petunjuk
belajar serta hasil yang diharapkan. Tanner mengatakan kurikulum itu sebagai “…
the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes,
formulated through the systematic reconstruction of knowledge and experiences
under auspices of the school, for the learner’s continuous and willful growth
in personal social competence.”
Konsep
kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran tampaknya diikuti
oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel
Smith, (1978) dan Peter F. Oliv, (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada
dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan
sekolah.
Kurikulum
sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut
undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional diaktakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran seta cara ayang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang
dimaksud dengan isi dan bahan pelajaran itu sendiri adalah susunan dan bahan
kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan
yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Batasan
menurut undang-undang itu tampak jelas bahwa kurikulum memiliki dua aspek
pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman
dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi
dan cara pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebagai upaya
pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Untuk
menutup diskusi kita tentang konsep dasar kurikulum, ingin saya sampaikan bahwa
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebagai konsep
itu jelas sasarannya dan mudah diukur. Akan tetapi, konsep yang terlalu sempit
juga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan Zais, (1976), jika kita ingin mengevaluasi kurikulum, kita
tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan
pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu,
kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan
rencana itu. Jadi, antara kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kurikulum
sebagai sebuah kenyataan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Murray Print, (1993),
menyatakan: “Curriculum is defined as all the planned learning
opportunities offered to learner by the educational institution and the
experiences learners encounter when the curriculum is implemented.”
Perlu
kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar
berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral
kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik hanya akan
tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui semua kegiatan yang
disajikan sekolah, baik melalui mata pelajaran ataupun kegiatan lainnya. Oleh
karena itu seperti yang dikatakan Zais, kurikulum sebagai suatu rencana
pembelajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja
dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat Skilbeck dana
Harris, (1976), yang menyatakan bahwa
kurikulum bukanlah materi pelajaran yang terpisah yang harus disampaikan dan
dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus
dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, dalam kurikulum harus mencakup
dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran, serta bagaimana
perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka
pencapaian tujuan yang diharapkan.
Setelah
kita kaji berbagai konsep kurikulum, maka dalam bahasan ini kurikulum dapat
diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang
harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang arus dilakukan siswa,
strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari
dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan
kurikulum meliputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi
dokumen yang telah disusun.
B. Peran dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum
dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni
mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat hidup di masyarakat. Makna
dapat hidup di masyarakat itu memiliki arti luas yang bukan saja berhubungan
dengan kemampuan peserta didik untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai
dengan norma-norma masyarakat, akan tetapi juga pendidikan harus berisi tentang
pemberian pengalaman agar anak dapat mengembangkan kemampuannya sesuai dengan
minat dan bakat mereka. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan kurikulum
merupakan komponen yang sangat penting, sebab di dalamnya bukan hanya
menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga pengalaman belajar
yang harus dimiliki setiap siswa serta bagaimana mengorganisasi pengalaman itu
sendiri. Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak
kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peran kreatif, serta
peran kritis dana evaluatif (Hamalik, 1990).
1.
Peran
Konservatif
Salah
satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah
mewariskan nilai-nilai dan budaya masyrakat kepada generasi muda yakni siswa.
Siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup
masyarakatnya, sehingga ketiak mereka kembali ke masyarakat, merek dapat
menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran
konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan
masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajauan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing
mengerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti
yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan dalam
menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat,
sehingga keajekan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.
2.
Peran
Kreatif
Apakah
tugas dan tanggung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai
lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan
hal-hal baru sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat
tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan.
Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran kreatif. Kurikulum harus mampu
menjawab setiap tantangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat
yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat
membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar
dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak
maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala
kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan
tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan
kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial
masyarakat.
3.
Peran Kritis
dan Evaluatif
Apakah
setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak didik? Apakah
setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman juga harus
dimiliki oleh setiap anak didik? Tentu tidak. Tidak setiap nilai dan budaya lama
harus tetap dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah
tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; demikian juga ada kalanya
nilai dan budaya baru itu juga tidak sesuai dengan nilai-nilai ama yang masih
relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dengan demikian, kurikulum berperan
untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau
budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran
kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus berperan dalam
menyeleksi dana mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk
kehidupan anak didik.
Dalam
proses pengembangan kurikulum ketiga peran pada halaman berikutnya harus
berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran
konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan
zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatifnya dapat
membuat hilangnya nilai-nilai budaya masyarakat.
Sesuai
dengan peran yang harus “dimainkan” kurikulum sebagai alat dan pedoman
pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan tujuan pendidikan itu
sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan
pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan peranannya itu sendiri. Dilihat
dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat
fungsi, yaitu (1) fungsi pendidikan umum (common and general education),
(2) suplementasi (supplementation), (3) eskplorasi (exploration),
dan (4) keahlian (specialization).
1)
Fungsi
pendidikan umum (common and general education)
Fungsi
pendidikan umum (common and general education), yaitu fungsi kurikulum
untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Kurikulum harus memberikan pengalaman belajar kepada setiap peserta didik agar
mampu menginternalisasi nilai-nilai dalam kehidupan, memahami setiap hak dan
kewajiban sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial. Dengan demikian,
fungsi kurikulum ini harus diikuti oleh setiap siswa pada jenjang dan level
atau jenis pendidikan mana pun.
2)
Suplementasi
(supplementation)
Setiap peserta
didik memiliki perbedaan baik dilihat dari perbedaan kemampuan, perbedaan
minat, maupun perbedaan bakat. Kurikulum sebagai alat pendidikan seharusnya
dapat memberikan pelayanan kepada setiap siswa sesuai dengan perbedaan
tersebut. Dengan demikian, setiap anak memiliki kesempatan untuk menambah
kemampuan dan wawasan yang lebih baik sesuai dengan minat dan bakatnya.
Artinya, peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata harus
terlayani untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal; sebaliknya siswa
yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata juga harus terlayani sesuai dengan
kemampuannya.
3)
Eksplorasi
(exploration)
Fungsi eksplorasi
memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat
dan bakat masing-masing siswa. Melalui fungsi ini siswa diharapkan dapat
belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga memungkinkan mereka akan
belajar tanpa adanya paksaan. Namun demikian, proses eksplorasi terhadap minat
dan bakat siswa bukan pelajerjaan yang mudah. Adakalanya terjadi pemaksaan dari
pihak luar, misalnya para orang tua yang sebenarnya anaknya tidak memiliki
bakat dan minat terhadap bidang tertentu, mereka dipaksa untuk memilihnya hanya
karena alasan-alasan tertentu yang sebenarnya tidak rasional. Oleh sebab itu
para pengembang kurikulum mesti dapat menggali rahasia keberbakatan anak yang kadang-kadang
tersembunyi.
4)
Keahlian (specialization)
Kurikulum
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan keahliannya yang
didasarkan atas minat dan bakat siswa. Dengan demikian, kurikulum harus
memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, misalnya perdagangan, pertanian,
industri sebagai pilihan, yang pada akhirnya setiap peserta didik memiliki
keterampilan-keterampilan sesuai dengan bidang spesialisasinya. Untuk itu
pengembangan kurikulum harus melibatkan para spesialis untuk menentukan
kemampuan apa yang harus dimiliki setiap siswa sesuai dengan bidang
keahliannya.
Memerhatikan
fungsi-fungsi di atas ,maka jelas kurikulum berfungsi untuk setiap orang atau
lembaga yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Nah,
sekarang coba Anda pikirkan atau diskusikan dengan teman Anda, kira-kira apa
saja fungsi kurikulum, untuk guru, siswa, kepala sekolah, pengawas, orang tua,
dan masyarakat.
Bagi guru,
kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada kurikulum, maka tidak akan
berjalan dengan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang bertujuan,
sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan untuk mencapai
tujuan; sedangkan arah dan tujuan pembelajaran beserta bagaimana cara dan
strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen
penting dalam sistem kurikulum.
Bagi kepala
sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program sekolah.
Dengan demikian, penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana
sekolah kepada dewan sekolah, penyusunan berbagai kegiatan sekolah baik yang
menyangkut kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan lainnya, harus
didasarkan pada kurikulum.
Bagi pengawas,
kurikulum akan berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan supervisi dengan
demikian, dalam proses pengawasan pelaksanaan proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum atau belum, sehingga
berdasarkan kurikulum itu juga pengawas dapat memberikan saran perbaikan.
Pendidikan adalah
usaha bersama. Tidak mungkin tujuan pendidikan akan berhasil secara optimal
manakala semuanya dibebankan pada guru atau sekolah. Dalam kaitan inilah orang
tua perlu memahami tujuan serta proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh
sekolah. Dengan demikian fungsi kurikulum bagi orang tua adalah sebagai pedoman
untuk memberikan bantuan baik bagi penyelenggaraan program sekolah, maupun
membantu putra atau putri mereka belajar di rumah sesuai dengan program
sekolah. Melalui kurikulum orang tua akan mengetahui tujuan yang harus dicapai
serta ruang lingkup materi pelajaran.
Bagi
siswa itu sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar. Melalui
kurikulum siswa akan memahami apa yang harus dicapai, isi atau bahan pelajaran
apa yang harus dikuasai, dan pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan. Berkaitan dengan fungsi kurikulum, Alexander Inglis (dalam
Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum untuk siswa:
1.
Fungsi
Penyesuaian (The Adjustive Or Adaptive Function)
2.
Fungsi
Integrasi (The Integrating Function)
3.
Fungsi
Diferensiasi (The Differentiating Function).
4.
Fungsi
Persiapan (The Preparation Function)
5.
Fungsi
Pemilihan (The Selective Function)
6.
Fungsi
Diagnostik (The Diagnostic Function)
Fungsi
penyesuaian yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat mengantar siswa
agar mampau menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengapa kurikulum
harus memiliki fungsi penyesuaian? Oleh sebab kehidupan masyarakat tidak
bersifat statis, akan tetapi dinamis, artinya kehidupan masyarakat selalu
berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, siswa
harus dapat beradaptasi dalam kehidupan masyarakat yang cepat berubah itu.
Dalam rangka inilah fungsi penyesuaian kurikulum diperlukan. Nah, sekarang coba
Anda pikirkan bagaimana agar kurikulum memiliki fungsi penyesuaian?
Fungsi
integrasi dimaksudkan bahwa kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi siswa
secara utuh. Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor harus berkembang secara
terintegrasi. Mengapa demikian? Sebab, kurikulum bukan hanya diharapkan dapat
mengembangkan kemampauan intelektual atau kecerdasan saja, akan tetapi juga
harus dapat membentuk siap sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di
masyarakat, serta dapat memberikan keterampilan untuk dapat hidup di lingkungan
masyarakatnya. Nah, sekarang bagaimana menurut Anda agar kurikulum memiliki
fungsi integrasi?
Fungsi
diferensiasi yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat melayani setiap
siswa dengan segala keunikannya. Mengapa demikian? Sebab, siswa adalah
organisme yang unik, yang memiliki perbedaan-perbedaan, biak perbedaan minat,
bakat, maupun perbedaan kemampuan. Dapat dipastikan bahwa di dunia ini tidak
akan ada manusia yang sama. Walaupun keadaan fisik mungkin ada yang sama, akan
tetapi belum tentu dilihat dari faktor psikologisnya juga sama.
Fungsi
persiapan mengandung makna, bahwa kurikulum harus dapat memberikan pengalaman
belajar bagi anak baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, maupun untuk kehidupan di masyarakat. Bagi anak yang memiliki potensi
untuk belajar pada jenjang yang lebih tinggi, maka kurikulum harus membekali
mereka dengan berbagai pengetahuan yang diperlukan agar mereka dapat mengikuti
pelajaran pada level pendidikan di atasnya; namun bukan itu saja, kurikulum
juga harus membekali mereka agar dapat belajar di masyarakat, bagi mereka yang
tidak memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikannya.
Fungsi
pemilihan adalah fungsi kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum harus
bersifat fleksibel, artinya menyediakan berbagai pilihan program pendidikan
yang dapat dipelajari. Hal ini sangat penting, sebab seperti yang telah
dikemukakan di atas, siswa memiliki perbedaan-perbedaan, dan kurikulum harus
melayani setiap perbedaan siswa.
Fungsi
diagnostik, adalah fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan siswa.
Melalui fungsi ini kurikulum berperan untuk menemukan kesulitan-kesulitan dan kelemahan yang dimiliki siswa, disamping
mengekplorasi berbagai kekuatan-kekuatan sehingga melalui pengenalan itu siswa
dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
C. Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum
merupakan rencana tertulis yang berisi tentang ide-ide dan gagasan-gagasan yang
dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Rencana tertulis itu kemudian menjadi
dokumen kurikulum yang membentuk suatu sistem kurikulum yang terdiri dari
komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain,
seperti misalnya komponen tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen
pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi.
Komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum selanjutnya melahirkan sistem
pengajaran, dan sistem pengajaran itu yang menjadi pedoman guru dalam
pengelolaan proses belajar mengajar di dalam kelas dengan demikian maka dapat
dikatakan siswa pengajaran merupakan pengembangan dari sistem kurikulum yang
digunakan. Oleh karena sistem pengajaran melahirkan tindakan-tindakan guru dan
siswa maka dapat dikatakan bahwa tindakan-tindakan itu pada dasarnya
implementasi dari kurikulum, yang selanjutnya implementasi itu akan memberikan
masukan dalam proses perbaikan kurikulum. Demikian terus menerus, sehingga
proses pengembangan kurikulum membentuk siklus yang tanpa ujung.
Dari
uraian di atas, maka jelas bahwa kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal
yang tidak terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda.
Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dana tujuan
pendidikan; serta isi yang harus dipelajari; sedangkan pengajaran adalah proses
yang terjadi dalam interaksi belajar dan mengajar antara guru dan siswa. Posisi
kurikulum dan pengajaran ini diungkapkan Saylor (1981): “The terms
curriculum and instruction are interlocked almost a s inextricable as name
Tristan and Isoled or Romeo and Juliet. Without a curriculum or plan, there can
be no effective instruction; and without instruction the curriculum has little
meaning.”
Bagi
Saylor, kurikulum dan pengajaran itu seperti Romeo dan Juliet. Artinya,
berbicara tentang Romeo adalah berbicara juga tentang Juliet. Romeo tidak akan
berarti apa-apa tanpa Juliet dan juga sebaliknya tanpa kurikulum sebagai sebuah
rencana, maka pembelajaran atau pengajaran tidak akan efektif, demikian juga
tanpa pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka
kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.
Seperti
yang diungkapkan Syalor, Oliva (1992) mengungkapkan bahwa kurikulum dan
pengajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kurikulum berhubungan dengan
isi/materi yang harus dipelajari sedangkan pengajaran berkaitan dengan cara
mempelajarinya. “... curriculum as that which is taught and instruction as
the means used to each that which is taught. Even more simply, curriculum can
be conceived as the “what” and instruction as the “how”. We may think of the
curriculum as a program, a plan, a content, and learning experiences, where as
were may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation
and presentation” (Oliva, 1992).
Bagi
Oliva, kurikulum berkaitan dengan apa yang harus diajarkan; sedangkan
pengajaran mengacu kepada bagaimana cara mengajarkannya. Dengan demikian, bagi
Oliva kurikulum berhubungan dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau
materi pelajaran serta pengalaman belajar; sedangkan pengajaran berkaitan
dengan metode, tindakan mengajar, implementasi, dan presentasi.
Dari
uraian di atas, maka jelas ketika kita memikirkan apa yang harus dipelajari
siswa, materi apa yang akan disampaikan, pengalaman belajar apa yang harus
dimiliki siswa, maka pada saat itu kita sedang mengembangkan sebuah program,
sebuah perencanaan atau sebuah kurikulum. Selanjutnya, manakala kit memikirkan
bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk mengajarkan suatu materi, metode apa
yang harus digunakan, bagaimana menyusun implementasi program dalam tindakan
nyata, maka pada saat itu kita sedang menyusun program pengajaran.
Untuk
melihat keterkaitan hubungan antara kurikulum dan pengajaran coba Anda lihat
gambar 1.1 tentang hubungan kurikulum dana pengajaran di bawah ini.
Isi
dalam sistem pengembangan kurikulum bersumber dari budaya masyarakat.
Berdasarkan sumber tersebut ditentukan kriteria penyusunan dan kriteria
pemilihan. Mengapa sistem pengembangan kurikulum harus sesuai dengan budaya
masyarakat?
Gambar 1.1
Keterkaitan kurikulum dan pengajaran
Sumber: Arno A. Bellack & Hebert
Kliebart, 1977 (Subandijah, 1996).
Selanjutnya,
sistem pengembangan kurikulum akan melahirkan rangkaian pengajaran serta hasil
yang diharapkan sesuai dengan kurikulum. Rangkaian pengajaran inilah yang
kemudian akan mengkristal dalam sistem pengajaran yang tiada lain adalah tindak
lanjut dari pengembangan sistem kurikulum. Dalam implementasinya sistem
pengajaran akan dipengaruhi oleh isi pelajaran (keluasan dan kedalaman materi
serta jenis materi pelajaran itu sendiri) dana berbagai instrumen pendukung
yang kesemuanya itu tidak akan lepas dari sosial budaya masyarakat. Sistem
pengajaran secara langsung dapat dipengaruhi oleh perilaku mengajar (seperti
kualitas pengajaran, waktu pengajaran,
kemampuan mengajar guru, dana lain
sebagainya). Dari sistem pengajaran itulah selanjutnya dapat melahirkan hasil
belajar siswa.
Sistem
pengajaran terbentuk oleh tiga subsistem, yaitu subsistem tentang perencanaan
pengajaran, subsistem tenang pelaksanaan pengajaran, dan subsistem evaluasi.
Setiap subsistem itu merupakan suatu rangkaian, yang masing-masing dapat
dianalisis. Tugas guru adalah berhubungan dengan membangun sistem pengajaran
ini. Oleh karenanya, efektivitas suatu kurikulum sangat tergantung kepada guru
yang mengembangkannya.
Perencanaan
pengajaran adalah proses yang dilakukan untuk mendesain kegiatan pengajaran
sebagai upaya pencapaian tujuan kurikulum. Dengan demikian, perencanaan
pengajaran dilakukan dalam berbagai tingkat satuan waktu, yang meliputi
perencanaan tahunan, perencanaan semesteran, perencanaan mingguan dan
perencanaan harian yakni perencanaan untuk satu kali kegiatan pembelajaran.
Perencanaan pengajaran disusun sebagai upaya implementasi sistem kurikulum.
Oleh karenanya penyusunan perencanaan sesuai dengan tujuan kurikulum.
Subsistem
pelaksanaan pengajaran tiada lain adalah implementasi atau action dari
perencanaan. Subsistem pelaksanaan erat kaitannya dengan prosedur yang ditempuh
oleh guru dan siswa di dalam praktik pembelajaran. Oleh karena itu, maka
keberhasilan kurikulum sangat tergantung pada subsistem pelaksanaan ini.
Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor guru itu sendiri. Mengapa
demikian? Sebab, guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan
siswa, sehingga bukan saja ia berperan sebagai fasilitator bagi siswa, akan
tetapi juga ia berperan sebagai pengelola atau pengatur lingkungan agar siswa
belajar.
Subsistem
evaluasi berhubungan dengan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang
pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa. Dalam sistem pengajaran subsistem evaluasi memiliki peran dan
kedudukan yang sangat penting, oleh sebab hasil evaluasi selain dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan siswa
juga dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran.
Kemudian bagaimana memfungsikan hasil evaluasi untuk melihat keberhasilan siswa
dan sebagai umpan balik perbaikan proses pengajaran?
Walaupun
antara kurikulum dan pengajaran merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan,
namun dalam suatu proses pengajaran dan pembelajaran, dapat terjadi berbagai
kemungkinan hubungan antara keduanya. Peter F. Oliva (1992) menggambarkan
kemungkinan hubungan itu ke dalam beberapa model seperti di bawah ini.
1.
Model
dualistis (the dualistic model)
Pada
model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanya tidak bertemu, kurikulum
yang seharusnya menjadi input dalam menata sistem pengajaran tidak tampak.
Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam proses
penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran berjalan
sendiri. Model dualistis itu digambarkan Oliva sebagai berikut:
Gambar 1.2
Model Dualistis
2.
Model
berkaitan (the interlocking model)
Pada model ini
kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang keduanya memiliki
hubungan. Baik antara kurikulum dan pengajaran maupun pengajaran dan kurikulum
ada bagian-bagian yang berpadu atau memiliki keterkaitan, sehingga antara
keduanya memiliki hubungan.
Gambar 1.3
Model Berkaitan
3.
Model
konsentris (the concentric model)
Pada model ini
kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan kurikulum bagian
dari pengajaran atau pengajaran bagian dari kurikulum. Yang satu tergantung
dari yang lain. Model konsentris ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.4
Model Konsentris
4.
Model
siklus (the cyclical model)
Pada model ini
antara kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan yang timbal balik. Keduanya
saling berpengaruh. Apa yang diputuskan dalam kurikulum akan menjadi dasar
dalam proses pelaksanaan pengajaran. Sebaliknya apa yang terjadi dalam
pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum selanjutnya. Oleh sebab itu,
dalam model siklus hubungan keduanya sangat erat walaupun kedudukannya terpisah
yang berarti dapat dianalisis secara terpisah pula.
Gambar 1.5
Model Siklus
D. Kurikulum Ideal dan Kurikulum
Aktual
Sebagai
suatu rencana atau program tertulis, kurikulum merupakan pedoman bagi guru
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Oleh sebab itu, setiap
guru seharusnya dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Inilah yang dinamakan kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang diharapkan dapat
dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses belajar
dan mengajar. Oleh karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi guru, maka
kurikulum ini juga dinamakan kurikulum formal atau kurikulum tertulis (written
curriculum). Contoh dari kurikulum ini adalah kurikulum sebagai suatu
dokumen seperti Kurikulum SMU 1989, Kurikulum SD 1975 yang berlaku pada tahun
itu, dan lain sebagainya.
Sebagai
sebuah pedoman, kurikulum ideal memegang peran yang sangat penting dalam
merancang pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa. Sebab, melalui
pedoman tersebut guru minimal dapat menentukan hal-hal sebagai berikut:
1.Merumuskan
tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Dapat kita bayangkan
tanpa tujuan yang jelas sebagai rambu-rambu, maka guru akan kesulitan
menentukan dan merencanakan program pembelajaran.
2.Menentukan
isi atau materi pelajaran yang harus dikuasai untuk dicapai tujuan atau
penguasaan kompetensi.
3.Menyusun
strategi pembelajaran untuk guru dan siswa sebagai upaya pencapaian tujuan.
4.Menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi.
Memerhatikan
begitu pentingnya keberadaan kurikulum ideal, maka setiap guru dituntut untuk
memahami dengan benar kurikulum idea, bukan hanya tentang tujuan yang harus
dicapai akan tetapi berbagai hal yang berhubungan dengan upaya pencapaian
tujuan itu sendiri.
Apakah
setiap kurikulum ideal dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh guru? Tentunya tidak.
Setiap sekolah tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan sempurna, karena
berbagai alasan. Pertama, bisa atau tidaknya kurikulum ideal diterapkan
oleh guru, dapat ditentukan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia
di sekolah. Misalkan mengamati micro organism, maka setiap anak dapat
menggunakan microscope. Kalau kurikulum itu diterima di sekolah yang
telah memiliki peralatan semacam itu, maka tentu saja guru dapat
melaksanakannya sesuai dengan tuntutan kurikulum; tetapi seandainya kurikulum
itu harus dijadikan pedoman bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki peralatan
semacam itu, tentu kurikulum ideal semacam itu tidak mungkin dapat dilakukan.
Kedua,
bisa atau tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan, akan ditentukan oleh kemampuan
guru. Misalnya, kurikulum ideal menuntut agar anak dapat menggunakan komputer
untuk belajar, dan sekolah memiliki peralatan komputer dengan lengkap, nah
tentu saja peralatan yang lengkap itu tidak mungkin dapat dimanfaatkan sesuai
dengan tuntutan kurikulum, manakala guru tidak menguasainya dengan optimal. Jadi, dengan demikian sarana yang
lengkap belum menjamin kurikulum ideal dapat dilaksanakan manakala tidak
didukung oleh kemampuan guru.
Ketiga,
bisa tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh setiap guru, juga tergantung pada
kebijakan setiap sekolah yang bersangkutan. Misalnya, di sekolah tersedia
sarana belajar dengan lengkap sesuai dengan tuntutan kurikulum, demikian juga
halnya dengan kemampuan guru, tetapi dengan alasan bahwa sarana atau alat
tersebut merupakan alat yang mahal dan langka misalnya, maka kepala sekolah
mengambil kebijakan alat tersebut tidak boleh digunakan, maka tidak mungkin kurikulum dapat
dilaksanakan dengan optimal. Nah, dengan demikian kebijakan sekolah juga
dapat menentukan bisa dan tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh guru.
Ketiga
hal tersebut, merupakan faktor yang dapat atau tidaknya kurikulum ideal
dilaksanakan oleh setiap guru. Oleh karena berbagai keterbatasan itu, maka guru
hanya mungkin dapat menerapkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Inilah
yang kemudian dinamakan actual curriculum atau kurikulum nyata, yakni
kurikulum yang secara riil dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan keadaan
dan kondisi yang ada.
Oleh
karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi setiap guru khususnya tentang
tujuan dan kompetensi yang harus dicapai, sedangkan kurikulum aktual adalah
kurikulum nyata yang dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang
ada, dengan demikian dapat dipastikan bahwa semakin jauh jarak antara kurikulum
ideal dengan kurikulum aktual, artinya apa yang dikerjakan guru tidak sesuai
atau jauh dari rambu-rambu kurikulum ideal maka akan semakin rendah kualitas
suatu sekolah. Sebaliknya, semakin dekat jarak antara kurikulum ideal dan
kurikulum aktual, artinya apa yang dilakukan guru dan siswa sesuai dengan
rambu-rambu bahkan melebihi kurikulum ideal sebagai pedoman, maka akan semakin
bagi kualitas suatu sekolah atau kualitas proses belajar mengajar.
Gambar 1.6
Keterkaitan Kurikulum Ideal dan Aktual
Garis
pertama berwarna merah menunjukkan kurikulum aktual yang dilaksanakan guru
menyentuh atau sesuai dengan kurikulum ideal bahkan melebihi kurikulum ideal,
maka dapat dipastikan kualitas pendidikan akan meningkat. Sebaliknya, apabila
kurikulum aktual yang dilaksanakan guru seperti gambar pada garis kedua, tidak
pernah menyentuh bahkan melenceng dari kurikulum ideal, maka dapat dipastikan
kualitas pendidikan anak rendah. Misalnya, dalam kurikulum ideal ditetapkan
untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi berbahasa Inggris, maka
sebaiknya siswa menggunakan laboratorium bahasa. Di sekolah yang memiliki
sarana yang lengkap dan kreativitas gurunya bagus, ketiak anak belajar bahasa
inggris, bukan saja menggunakan laboratorium bahasa akan tetapi juga
menggunakan native speaker, apa yang akan terjadi? Tentu saja hasil
belajar siswa akan lebih baik. Sebaliknya, manakala kurikulum itu jatuh di
sekolah yang tidak memiliki fasilitas seperti laboratorium bahasa, kemudian
gurunya tidak kreatif, sehingga pembelajaran akan dilaksanakan seadanya, maka
jelas hasil belajar siswa tidak akan optimal. Itulah sebabnya jarak antara
kurikulum ideal tidak boleh terlalu jauh dengan kurikulum aktual.
E. Kurikulum Tersembunyi (Hidden
Curriculum)
Dalam
bukunya The Hidden Curriculum an Overview: Curriculum Perspectives, Seddon
(1983) mengungkapkan: “… The hidden curriculum refers to outcomes of
education and/or the processes leading to those outcomes, which are not
explicitly intended by educators. These outcomes are generally not explicitly
intended because they are not stated by teacher in their oral or written list
of objective, nor are they included in educational statements of intents such
as syllabuses, school policy documents or curriculum projects.” Kurikulum
tersembunyi pada dasarnya adalah hasil dari suatu proses pendidikan yang tidak
direncanakan. Artinya, perilaku yang muncul di luar tujuan yang dideskripsikan
oleh guru.
Kurikulum
pada hakikatnya berisi ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu selanjutnya
dituangkan dalam bentuk dokumen atau tulisan secara sistematis dan logis yang
memerhatikan unsur scope dan sequence,
selanjutnya dokumen tertulis itulah yang dinamakan dengan kurikulum yang
terencana (curriculum document or written curriculum). Salah satu isi
yang terdapat dalam dokumen kurikulum itu adalah sejumlah daftar tujuan yang
harus dicapai oleh peserta didik. Tujuan itulah yang selanjutnya dijadikan
pedoman oleh guru dalam proses pembelajaran sebagai tahap implementasi
kurikulum. Pada kenyataannya hasil dari proses pembelajaran itu selain sesuai
dengan tujuan perilaku yang dirumuskan juga ada perilaku sebagai hasil belajar
di luar tujuan yang dirumuskan. Inilah hakikat dari kurikulum tersembunyi,
yakni efek yang muncul sebagai hasil belajar yang sama sekali di luar tujuan
yang dideskripsikan.
Kemudian
faktor apa saja yang dapat memengaruhi hasil yang tidak direncanakan itu? Ada
dua aspek yang dapat memengaruhi perilaku sebagai hidden curriculum itu,
yaitu aspek yang relatif tetap dan aspek yang dapat berubah. Yang dimaksud
dengan aspek relatif tetap adalah ideologi, keyakinan, nilai budaya masyarakat
yang memengaruhi sekolah termasuk di dalamnya menentukan budaya apa yang patut
dan tidak patut diwariskan kepada generasi bangsa. Aspek yang dapat berubah
meliputi variabel organisasi sistem sosial dan kebudayaan. Variabel organisasi
meliputi bagaimana guru mengelola kelas, bagaimana pelajaran diberikan,
bagaimana kenaikan kelas dilakukan. Sistem sosial meliputi bagaimana pola
hubungan sosial antara guru, guru dengan peserta didik, guru dengan staf
sekolah, dan lain sebagainya.
Menurut
Bellack dan Kiebard, hidden curriculum memiliki tiga dimensi yaitu:
1.Hidden
curriculum dapat menunjukkan suatu hubungan sekolah,
yang meliputi interaksi guru, peserta didik, struktur kelas, keseluruhan pola
organisasional peserta didik sebagai mikrokosmos sistem nilai sosial.
2.Hidden
curriculum dapat menjelaskan sejumlah apa roses
pelaksanaan di dalam atau di luar sekolah yang meliputi hal-hal yang memiliki
nilai tambah, sosialisasi, pemeliharaan struktur kelas.
3.Hidden
curriculum mencakup perbedaan tingkat kesengajaan
(intensionalitas) seperti halnya yang dihayati oleh para peneliti, tingkat yang
berhubungan dengan hasil yang bersifat insidental. Bahkan hal itu kadang-kadang
tidak diharapkan dari penyusunan kurikulum dalam kaitannya dengan fungsi sosial
pendidikan.
Dalam
dimensi pelaksanaan implementasi kurikulum di dalam kelas atau
pengembangan kurikulum dalam skala
mikro, kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) memiliki makna: Pertama,
kurikulum tersembunyi dapat dipandang sebagai tujuan yang tidak tertulis
(tersembunyi), akan tetapi pencapaiannya perlu dipertimbangkan oleh setiap guru
agar kualitas pembelajaran lebih bermakna. Sebagai contoh, ketiak guru hendak
mengajar tujuan tertentu melalui metode diskusi, sebenarnya ada tujuan lain
yang harus dicapai selain tujuan yang berhubungan dengan penguasaan materi
pembelajaran, misalnya kemampuan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau gagasan
melalui bahasa yang benar, atau sikap siswa untuk mau mendengarkan dan
menghargai pendapat orang lain, kemampuan menyemak dan menentukan permasalahan
dan lain sebagainya; atau ketika guru menentukan tujuan agar siswa dapat
menuliskan sesuatu, maka sesungguhnya ada tujuan lain yang ingin dicapai yaitu
menilai kerapian tulisan siswa, ketepatan menuliskan lambang-lambang tulisan,
kemampuan siswa mengeluarkan gagasan melalui bahasa tulisan, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, dalam konteks ini semakin kaya guru menentukan
kurikulum tersembunyi, maka akan semakin bagus juga kualitas proses dan hasil
pembelajaran.
Kedua,
kurikulum tersembunyi juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang terjadi
tanpa direncanakan terlebih dahulu yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Misalkan, ketiak guru akan mengajarkan tentang
serangga (binatang insekta), tiba-tiba lewat jendela kelas muncul seekor
kupu-kupu masuk ke dalam kelas, nah, kemunculan kupu-kupu yang tidak
direncanakan itu merupakan hidden curriculum yang dapat dijadikan awal
pembahasan materi pembelajaran. Dengan demikian semakin kaya guru dengan hidden
curriculum, maka akan semakin aktual proses pembelajaran. Selanjutnya,
dapatkah Anda memberikan contoh lain pengembangan hidden curriculum?
F. Peran Guru dalam Pengembangan
Kurikulum
Di
muka dijelaskan bahwa kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni
kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah
dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai
implementasi adalah realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan
pembelajaran. Jadi, dengan demikian kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan
proses pembelajaran sebagai implementasi dokumen tersebut merupakan dua sisi
yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling meng-ada dan meniada-kan: ada
kurikulum pasti ada pembelajaran; dan ada pembelajaran ada juga kurikulum.
Guru
merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun
idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk
mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu
alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman
tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan
kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru
lebih banyak dalam tataran kelas. Murray Print, 1993 mencatat peran guru dalam
level ini adalah sebagai:
1.
Implementers
2.
Adapters
3.
Developers
4.
Researchers
Pertama,
sebagai implementer, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang
sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan
perumus kurikulum. Guru tidak memiliki ruang baiak untuk menentukan isi
kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Pada fase sebagai implementator
kurikulum, peran guru dalam pengembangan kurikulum sebatas hanya menjalankan
kurikulum yang telah disusun. Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya
reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru kita dalam pengembangan kurikulum
hanya sebagai implementator berbagai kebijakan kurikulum yang dirancang secara
terpusat, yakni Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dalam GBPP yang
berbentuk matriks telah ditentukan dari mulai tujuan yang harus dicapai, materi
pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan termasuk penggunaan
media dan sumber belajar serta bentuk evaluasi yang harus dilakukan sampai
kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan. Dalam
pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.
Akibatnya kurikulum bersifat seragam, apa yang dilakukan oleh guru-guru di
bagian timur Indonesia, sama dengan apa yang dilakukan oleh guru-guru yang
berada di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekadar pelaksana
kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa
pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai
pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi
sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.
Kedua,peran
guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum,
akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan
kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan
untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan
kebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
misalnya para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar
minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya, dan
hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran
guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
Ketiga,
peran sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendesain
sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran
yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang
harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang
kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik,
misi dan visi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan
siswa. Pelaksanaan peranan ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum
muatan lokal (Mulok) sebagai bagian dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan
kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh sebab itu, biasa terjadi
kurikulum mulok antar sekolah bisa berbeda. Kurikulum dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing sekolah.
Keempat,
sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum
researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional
guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru.
Dalam pelaksanaan peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk
menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum,
menguji efektivitas program, menguji strategi dan model pembelajaran, dan
sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu
metode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK), yakni metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi
guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan
penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, akan tetapi secara terus-menerus guru
dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.
Sumber: Sanjaya, Wina, (2008). Kurikulum
dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
0 komentar:
Posting Komentar