Pages

Selasa, 18 Juni 2019

Hakikat Kurikulum

A. Pengertian Kurikulum
Banyak orang yang menganggap kurikulum berkaitan dengan bahan ajar atau buku-buku pelajaran yang harus dimiliki anak didik, sehingga perubahan kurikulum identik dengan perubahan buku pelajaran. Benarkah demikian? Apakah kurikulum hanya berkaitan dengan bahan ajar? Apakah aktivitas siswa mempelajari bahan ajar tidak termasuk kurikulum? Persoalan kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar akan tetapi banyak persoalan lainnya termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan, persoalan materi pelajaran, serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait dengan hal itu.

Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari mulai dari start sampai finish.

Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum memang diperuntukkan untuk anak didik, seperti yang diungkapkan Murray Print, (1993) yang mengungkapkan bahwa kurikulum meliputi:
1. Planned learning experiences;
2. Offered within an educational institution atau program;
3. Represented  as a document; and
4. Includes experiences resulting from implementing that document.

Print (Wina Sanjaya, 2008: 4) memandang bahwa sebuah kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar, program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen seta hasil dari implementasi dokumen yang telah disusun.

Dari penelusuran konsep, pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan, (Saylor, Alexander & Lewis, 1981).

Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M. Hutchins, (1936) yang menyatakan: “The curriculum should include grammar, reading, rhetoric and logic, and mathematic, and addition at the secondary level introduce the great books of the western world.

Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitaannay dengan usaha untuk memperoleh ijazah. Ijazah sendiri pada dasarnya menggambarkan kemampuan. Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampauan tersebut tercermin dalam nilai setiap mata pelajaran yang terkandung dalam ijazah itu. Siswa yang belum memiliki kemampuan atau belum memperoleh nilai berdasarkan standar tertentu tidak akan mendapatkan ijazah, walaupun mungkin saja mereka telah mempelajari kurikulum tersebut. Dengan demikian, dalam pandangan ini kurikulum berorientasai kepada isi atau materi pelajaran (content oriented). Proses pembelajaran di sekolah yang menggunakan konsep kurikulum demikian, penguasaan isi pelajaran merupakan sasaran akhir proses pendidikan. Untuk mengecek apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum biasanya dilaksanakan tes hasil belajar.

Maka yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah yang dipelajari siswa dalam setiap mata pelajaran itu? Ya, manakala kita kaji, yang dipelajari dalam setiap mata pelajaran itu adalah ilmu pengetahuan sesuai dengan nama setiap mata pelajaran. Misalnya, ketika anak mempelajari mata pelajaran IPS, maka pada dasarnya mereka mempelajari ilmu pengetahuan tentang ilmu sosial. Demikian juga ketika siswa mempelajari mata pelajaran IPA, maka pada dasarnya mereka sedang belajar ilmu pengetahuan alam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kurikulum sebagai mata pelajaran pada hakikatnya adalah kurikulum yang berisikan bidang studi.

Kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaannya memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
2.Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
3.Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.

Pandangan yang menganggap kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran merupakan pandangan yang dianggap tradisional, walaupun sebenarnya masih banyak dianut orang dan mewarnai kurikulum yang berlaku dewasa ini.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam keutuhan dan tuntutan kehidupan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan.

Tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut, mengakibatkan pula pergeseran makan kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Sedangkan, tugas-tugas lain seperti membantu orang tua bekerja di ladang, atau membantu memasak dan lain sebagainya, walaupun pekerjaan semacam itu bermanfaat untuk kehidupan siswa, bukanlah kurikulum, karena pekerjaan dan aktivitas tersebut sama sekali di luar tanggung jawab guru.

Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Campbell, (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “… all of the experiences children have under the guidance of teacher”. Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai: “… those experiences of the child which the school in any way utilizes or attempts to influence”. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Gilles, S.P, McCutchen, dan A.N. Zechiel: “… the curriculum … the total experience  with which the school deals in educating young people.”

Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine, (1945),  yang mengatakan: “Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not.” Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty, (1965),  Bagi dia kurikulum itu adalah “all of the activities that are provided for the students by the school.” Demikian juga Saylor dan Alexander, (1956), yang menyatakan: “the curriculum is the sum total of school’s efforts to influence learning, whether in the classroom, on ht pelayground, or out of school.” Bagi mereka kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.

Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang psikologi belajar. Pandangan baru dalam psikologi menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebab itu dalam proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekadar menumpuk sejumlah pengetahuan.

Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.

Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukankah pekerjaan yang sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalaman yang tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah, maka makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.

Kritikan dan ketidaksepahaman terhadap konsep tersebut, memunculkan konsep yang menganggap kurikulum sebagai suatu program atau rencana untuk belajar. Pendapat kurikulum sebagai perencanaan belajar di antaranya dikemukakan oleh Hilda Taba. Taba, (1962),  mengatakan: “A curriculum is a plan for learning; therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum.”

Pendapat yang menganggap kurikulum sebagai program atau rencana belajar seperti dikemukakan Hilda Taba di atas, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Daniel Tanner dan Laurel Tanner, (1975),  yang menyatakan bahwa kurikulum adalah perencanaan yang berisi tentang petunjuk belajar serta hasil yang diharapkan. Tanner mengatakan kurikulum itu sebagai “… the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes, formulated through the systematic reconstruction of knowledge and experiences under auspices of the school, for the learner’s continuous and willful growth in personal social competence.”

Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran tampaknya diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith, (1978) dan Peter F. Oliv, (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.

Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diaktakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran seta cara ayang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud dengan isi dan bahan pelajaran itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Batasan menurut undang-undang itu tampak jelas bahwa kurikulum memiliki dua aspek pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Untuk menutup diskusi kita tentang konsep dasar kurikulum, ingin saya sampaikan bahwa kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebagai konsep itu jelas sasarannya dan mudah diukur. Akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan Zais, (1976),  jika kita ingin mengevaluasi kurikulum, kita tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rencana itu. Jadi, antara kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kurikulum sebagai sebuah kenyataan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Murray Print, (1993),  menyatakan: “Curriculum is defined as all the planned learning opportunities offered to learner by the educational institution and the experiences learners encounter when the curriculum is implemented.”

Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik hanya akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui semua kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata pelajaran ataupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zais, kurikulum sebagai suatu rencana pembelajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat Skilbeck dana Harris, (1976),  yang menyatakan bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, dalam kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran, serta bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.

Setelah kita kaji berbagai konsep kurikulum, maka dalam bahasan ini kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang arus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.

B. Peran dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat hidup di masyarakat. Makna dapat hidup di masyarakat itu memiliki arti luas yang bukan saja berhubungan dengan kemampuan peserta didik untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai dengan norma-norma masyarakat, akan tetapi juga pendidikan harus berisi tentang pemberian pengalaman agar anak dapat mengembangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan kurikulum merupakan komponen yang sangat penting, sebab di dalamnya bukan hanya menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa serta bagaimana mengorganisasi pengalaman itu sendiri. Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peran kreatif, serta peran kritis dana evaluatif (Hamalik, 1990).

1.    Peran Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyrakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketiak mereka kembali ke masyarakat, merek dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajauan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing mengerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga keajekan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.

2.    Peran Kreatif
Apakah tugas dan tanggung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus  mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.

3.    Peran Kritis dan Evaluatif
Apakah setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak didik? Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman juga harus dimiliki oleh setiap anak didik? Tentu tidak. Tidak setiap nilai dan budaya lama harus tetap dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; demikian juga ada kalanya nilai dan budaya baru itu juga tidak sesuai dengan nilai-nilai ama yang masih relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dengan demikian, kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus berperan dalam menyeleksi dana mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik.

Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga peran pada halaman berikutnya harus berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatifnya dapat membuat hilangnya nilai-nilai budaya masyarakat.

Sesuai dengan peran yang harus “dimainkan” kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan peranannya itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu (1) fungsi pendidikan umum (common and general education), (2) suplementasi (supplementation), (3) eskplorasi (exploration), dan (4) keahlian (specialization).

1)   Fungsi pendidikan umum (common and general education)
Fungsi pendidikan umum (common and general education), yaitu fungsi kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kurikulum harus memberikan pengalaman belajar kepada setiap peserta didik agar mampu menginternalisasi nilai-nilai dalam kehidupan, memahami setiap hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial. Dengan demikian, fungsi kurikulum ini harus diikuti oleh setiap siswa pada jenjang dan level atau jenis pendidikan mana pun.

2)   Suplementasi (supplementation)
Setiap peserta didik memiliki perbedaan baik dilihat dari perbedaan kemampuan, perbedaan minat, maupun perbedaan bakat. Kurikulum sebagai alat pendidikan seharusnya dapat memberikan pelayanan kepada setiap siswa sesuai dengan perbedaan tersebut. Dengan demikian, setiap anak memiliki kesempatan untuk menambah kemampuan dan wawasan yang lebih baik sesuai dengan minat dan bakatnya. Artinya, peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata harus terlayani untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal; sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata juga harus terlayani sesuai dengan kemampuannya.

3)   Eksplorasi (exploration)
Fungsi eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat dan bakat masing-masing siswa. Melalui fungsi ini siswa diharapkan dapat belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga memungkinkan mereka akan belajar tanpa adanya paksaan. Namun demikian, proses eksplorasi terhadap minat dan bakat siswa bukan pelajerjaan yang mudah. Adakalanya terjadi pemaksaan dari pihak luar, misalnya para orang tua yang sebenarnya anaknya tidak memiliki bakat dan minat terhadap bidang tertentu, mereka dipaksa untuk memilihnya hanya karena alasan-alasan tertentu yang sebenarnya tidak rasional. Oleh sebab itu para pengembang kurikulum mesti dapat menggali rahasia keberbakatan anak yang kadang-kadang tersembunyi.

4)   Keahlian (specialization)
Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakat siswa. Dengan demikian, kurikulum harus memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, misalnya perdagangan, pertanian, industri sebagai pilihan, yang pada akhirnya setiap peserta didik memiliki keterampilan-keterampilan sesuai dengan bidang spesialisasinya. Untuk itu pengembangan kurikulum harus melibatkan para spesialis untuk menentukan kemampuan apa yang harus dimiliki setiap siswa sesuai dengan bidang keahliannya.

Memerhatikan fungsi-fungsi di atas ,maka jelas kurikulum berfungsi untuk setiap orang atau lembaga yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung  dengan penyelenggaraan pendidikan. Nah, sekarang coba Anda pikirkan atau diskusikan dengan teman Anda, kira-kira apa saja fungsi kurikulum, untuk guru, siswa, kepala sekolah, pengawas, orang tua, dan masyarakat.

Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada kurikulum, maka tidak akan berjalan dengan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang bertujuan, sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan untuk mencapai tujuan; sedangkan arah dan tujuan pembelajaran beserta bagaimana cara dan strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen penting dalam sistem kurikulum.

Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program sekolah. Dengan demikian, penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana sekolah kepada dewan sekolah, penyusunan berbagai kegiatan sekolah baik yang menyangkut kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan lainnya, harus didasarkan pada kurikulum.

Bagi pengawas, kurikulum akan berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan supervisi dengan demikian, dalam proses pengawasan pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum atau belum, sehingga berdasarkan kurikulum itu juga pengawas dapat memberikan saran perbaikan.

Pendidikan adalah usaha bersama. Tidak mungkin tujuan pendidikan akan berhasil secara optimal manakala semuanya dibebankan pada guru atau sekolah. Dalam kaitan inilah orang tua perlu memahami tujuan serta proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sekolah. Dengan demikian fungsi kurikulum bagi orang tua adalah sebagai pedoman untuk memberikan bantuan baik bagi penyelenggaraan program sekolah, maupun membantu putra atau putri mereka belajar di rumah sesuai dengan program sekolah. Melalui kurikulum orang tua akan mengetahui tujuan yang harus dicapai serta ruang lingkup materi pelajaran.

Bagi siswa itu sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar. Melalui kurikulum siswa akan memahami apa yang harus dicapai, isi atau bahan pelajaran apa yang harus dikuasai, dan pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Berkaitan dengan fungsi kurikulum, Alexander Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum untuk siswa:
1.    Fungsi Penyesuaian (The Adjustive Or Adaptive Function)
2.    Fungsi Integrasi (The Integrating Function)
3.    Fungsi Diferensiasi (The Differentiating Function).
4.    Fungsi Persiapan (The Preparation Function)
5.    Fungsi Pemilihan (The Selective Function)
6.    Fungsi Diagnostik (The Diagnostic Function)

Fungsi penyesuaian yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat mengantar siswa agar mampau menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengapa kurikulum harus memiliki fungsi penyesuaian? Oleh sebab kehidupan masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis, artinya kehidupan masyarakat selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, siswa harus dapat beradaptasi dalam kehidupan masyarakat yang cepat berubah itu. Dalam rangka inilah fungsi penyesuaian kurikulum diperlukan. Nah, sekarang coba Anda pikirkan bagaimana agar kurikulum memiliki fungsi penyesuaian?

Fungsi integrasi dimaksudkan bahwa kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi siswa secara utuh. Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor harus berkembang secara terintegrasi. Mengapa demikian? Sebab, kurikulum bukan hanya diharapkan dapat mengembangkan kemampauan intelektual atau kecerdasan saja, akan tetapi juga harus dapat membentuk siap sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, serta dapat memberikan keterampilan untuk dapat hidup di lingkungan masyarakatnya. Nah, sekarang bagaimana menurut Anda agar kurikulum memiliki fungsi integrasi?

Fungsi diferensiasi yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat melayani setiap siswa dengan segala keunikannya. Mengapa demikian? Sebab, siswa adalah organisme yang unik, yang memiliki perbedaan-perbedaan, biak perbedaan minat, bakat, maupun perbedaan kemampuan. Dapat dipastikan bahwa di dunia ini tidak akan ada manusia yang sama. Walaupun keadaan fisik mungkin ada yang sama, akan tetapi belum tentu dilihat dari faktor psikologisnya juga sama.

Fungsi persiapan mengandung makna, bahwa kurikulum harus dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun untuk kehidupan di masyarakat. Bagi anak yang memiliki potensi untuk belajar pada jenjang yang lebih tinggi, maka kurikulum harus membekali mereka dengan berbagai pengetahuan yang diperlukan agar mereka dapat mengikuti pelajaran pada level pendidikan di atasnya; namun bukan itu saja, kurikulum juga harus membekali mereka agar dapat belajar di masyarakat, bagi mereka yang tidak memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikannya.

Fungsi pemilihan adalah fungsi kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum harus bersifat fleksibel, artinya menyediakan berbagai pilihan program pendidikan yang dapat dipelajari. Hal ini sangat penting, sebab seperti yang telah dikemukakan di atas, siswa memiliki perbedaan-perbedaan, dan kurikulum harus melayani setiap perbedaan siswa.

Fungsi diagnostik, adalah fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan siswa. Melalui fungsi ini kurikulum berperan untuk menemukan kesulitan-kesulitan  dan kelemahan yang dimiliki siswa, disamping mengekplorasi berbagai kekuatan-kekuatan sehingga melalui pengenalan itu siswa dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

C. Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisi tentang ide-ide dan gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Rencana tertulis itu kemudian menjadi dokumen kurikulum yang membentuk suatu sistem kurikulum yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain, seperti misalnya komponen tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi. Komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum selanjutnya melahirkan sistem pengajaran, dan sistem pengajaran itu yang menjadi pedoman guru dalam pengelolaan proses belajar mengajar di dalam kelas dengan demikian maka dapat dikatakan siswa pengajaran merupakan pengembangan dari sistem kurikulum yang digunakan. Oleh karena sistem pengajaran melahirkan tindakan-tindakan guru dan siswa maka dapat dikatakan bahwa tindakan-tindakan itu pada dasarnya implementasi dari kurikulum, yang selanjutnya implementasi itu akan memberikan masukan dalam proses perbaikan kurikulum. Demikian terus menerus, sehingga proses pengembangan kurikulum membentuk siklus yang tanpa ujung.

Dari uraian di atas, maka jelas bahwa kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dana tujuan pendidikan; serta isi yang harus dipelajari; sedangkan pengajaran adalah proses yang terjadi dalam interaksi belajar dan mengajar antara guru dan siswa. Posisi kurikulum dan pengajaran ini diungkapkan Saylor (1981): “The terms curriculum and instruction are interlocked almost a s inextricable as name Tristan and Isoled or Romeo and Juliet. Without a curriculum or plan, there can be no effective instruction; and without instruction the curriculum has little meaning.”

Bagi Saylor, kurikulum dan pengajaran itu seperti Romeo dan Juliet. Artinya, berbicara tentang Romeo adalah berbicara juga tentang Juliet. Romeo tidak akan berarti apa-apa tanpa Juliet dan juga sebaliknya tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, maka pembelajaran atau pengajaran tidak akan efektif, demikian juga tanpa pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.

Seperti yang diungkapkan Syalor, Oliva (1992) mengungkapkan bahwa kurikulum dan pengajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kurikulum berhubungan dengan isi/materi yang harus dipelajari sedangkan pengajaran berkaitan dengan cara mempelajarinya. “... curriculum as that which is taught and instruction as the means used to each that which is taught. Even more simply, curriculum can be conceived as the “what” and instruction as the “how”. We may think of the curriculum as a program, a plan, a content, and learning experiences, where as were may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation and presentation” (Oliva, 1992).

Bagi Oliva, kurikulum berkaitan dengan apa yang harus diajarkan; sedangkan pengajaran mengacu kepada bagaimana cara mengajarkannya. Dengan demikian, bagi Oliva kurikulum berhubungan dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi pelajaran serta pengalaman belajar; sedangkan pengajaran berkaitan dengan metode, tindakan mengajar, implementasi, dan presentasi.

Dari uraian di atas, maka jelas ketika kita memikirkan apa yang harus dipelajari siswa, materi apa yang akan disampaikan, pengalaman belajar apa yang harus dimiliki siswa, maka pada saat itu kita sedang mengembangkan sebuah program, sebuah perencanaan atau sebuah kurikulum. Selanjutnya, manakala kit memikirkan bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk mengajarkan suatu materi, metode apa yang harus digunakan, bagaimana menyusun implementasi program dalam tindakan nyata, maka pada saat itu kita sedang menyusun program pengajaran.

Untuk melihat keterkaitan hubungan antara kurikulum dan pengajaran coba Anda lihat gambar 1.1 tentang hubungan kurikulum dana pengajaran di bawah ini.

Isi dalam sistem pengembangan kurikulum bersumber dari budaya masyarakat. Berdasarkan sumber tersebut ditentukan kriteria penyusunan dan kriteria pemilihan. Mengapa sistem pengembangan kurikulum harus sesuai dengan budaya masyarakat?

Gambar 1.1
Keterkaitan kurikulum dan pengajaran
Sumber: Arno A. Bellack & Hebert Kliebart, 1977 (Subandijah, 1996).

Selanjutnya, sistem pengembangan kurikulum akan melahirkan rangkaian pengajaran serta hasil yang diharapkan sesuai dengan kurikulum. Rangkaian pengajaran inilah yang kemudian akan mengkristal dalam sistem pengajaran yang tiada lain adalah tindak lanjut dari pengembangan sistem kurikulum. Dalam implementasinya sistem pengajaran akan dipengaruhi oleh isi pelajaran (keluasan dan kedalaman materi serta jenis materi pelajaran itu sendiri) dana berbagai instrumen pendukung yang kesemuanya itu tidak akan lepas dari sosial budaya masyarakat. Sistem pengajaran secara langsung dapat dipengaruhi oleh perilaku mengajar (seperti kualitas pengajaran,  waktu pengajaran, kemampuan mengajar guru,  dana lain sebagainya). Dari sistem pengajaran itulah selanjutnya dapat melahirkan hasil belajar siswa.

Sistem pengajaran terbentuk oleh tiga subsistem, yaitu subsistem tentang perencanaan pengajaran, subsistem tenang pelaksanaan pengajaran, dan subsistem evaluasi. Setiap subsistem itu merupakan suatu rangkaian, yang masing-masing dapat dianalisis. Tugas guru adalah berhubungan dengan membangun sistem pengajaran ini. Oleh karenanya, efektivitas suatu kurikulum sangat tergantung kepada guru yang mengembangkannya.

Perencanaan pengajaran adalah proses yang dilakukan untuk mendesain kegiatan pengajaran sebagai upaya pencapaian tujuan kurikulum. Dengan demikian, perencanaan pengajaran dilakukan dalam berbagai tingkat satuan waktu, yang meliputi perencanaan tahunan, perencanaan semesteran, perencanaan mingguan dan perencanaan harian yakni perencanaan untuk satu kali kegiatan pembelajaran. Perencanaan pengajaran disusun sebagai upaya implementasi sistem kurikulum. Oleh karenanya penyusunan perencanaan sesuai dengan tujuan kurikulum.

Subsistem pelaksanaan pengajaran tiada lain adalah implementasi atau action dari perencanaan. Subsistem pelaksanaan erat kaitannya dengan prosedur yang ditempuh oleh guru dan siswa di dalam praktik pembelajaran. Oleh karena itu, maka keberhasilan kurikulum sangat tergantung pada subsistem pelaksanaan ini. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor guru itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa, sehingga bukan saja ia berperan sebagai fasilitator bagi siswa, akan tetapi juga ia berperan sebagai pengelola atau pengatur lingkungan agar siswa belajar.

Subsistem evaluasi berhubungan dengan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa. Dalam sistem pengajaran  subsistem evaluasi memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting, oleh sebab hasil evaluasi selain  dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan siswa juga dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran. Kemudian bagaimana memfungsikan hasil evaluasi untuk melihat keberhasilan siswa dan sebagai umpan balik perbaikan proses pengajaran?

Walaupun antara kurikulum dan pengajaran merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan, namun dalam suatu proses pengajaran dan pembelajaran, dapat terjadi berbagai kemungkinan hubungan antara keduanya. Peter F. Oliva (1992) menggambarkan kemungkinan hubungan itu ke dalam beberapa model seperti di bawah ini.

1.    Model dualistis (the dualistic model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanya tidak bertemu, kurikulum yang seharusnya menjadi input dalam menata sistem pengajaran tidak tampak. Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam proses penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran berjalan sendiri. Model dualistis itu digambarkan Oliva sebagai berikut:

Gambar 1.2
Model Dualistis

2.    Model berkaitan (the interlocking model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang keduanya memiliki hubungan. Baik antara kurikulum dan pengajaran maupun pengajaran dan kurikulum ada bagian-bagian yang berpadu atau memiliki keterkaitan, sehingga antara keduanya memiliki hubungan.

Gambar 1.3
Model Berkaitan

3.    Model konsentris (the concentric model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan kurikulum bagian dari pengajaran atau pengajaran bagian dari kurikulum. Yang satu tergantung dari yang lain. Model konsentris ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.4
Model Konsentris

4.    Model siklus (the cyclical model)
Pada model ini antara kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan yang timbal balik. Keduanya saling berpengaruh. Apa yang diputuskan dalam kurikulum akan menjadi dasar dalam proses pelaksanaan pengajaran. Sebaliknya apa yang terjadi dalam pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum selanjutnya. Oleh sebab itu, dalam model siklus hubungan keduanya sangat erat walaupun kedudukannya terpisah yang berarti dapat dianalisis secara terpisah pula.

Gambar 1.5
Model Siklus

D. Kurikulum Ideal dan Kurikulum Aktual
Sebagai suatu rencana atau program tertulis, kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Oleh sebab itu, setiap guru seharusnya dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Inilah yang dinamakan kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses belajar dan mengajar. Oleh karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi guru, maka kurikulum ini juga dinamakan kurikulum formal atau kurikulum tertulis (written curriculum). Contoh dari kurikulum ini adalah kurikulum sebagai suatu dokumen seperti Kurikulum SMU 1989, Kurikulum SD 1975 yang berlaku pada tahun itu, dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah pedoman, kurikulum ideal memegang peran yang sangat penting dalam merancang pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa. Sebab, melalui pedoman tersebut guru minimal dapat menentukan hal-hal sebagai berikut:
1.Merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Dapat kita bayangkan tanpa tujuan yang jelas sebagai rambu-rambu, maka guru akan kesulitan menentukan dan merencanakan program pembelajaran.
2.Menentukan isi atau materi pelajaran yang harus dikuasai untuk dicapai tujuan atau penguasaan kompetensi.
3.Menyusun strategi pembelajaran untuk guru dan siswa sebagai upaya pencapaian tujuan.
4.Menentukan keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi.

Memerhatikan begitu pentingnya keberadaan kurikulum ideal, maka setiap guru dituntut untuk memahami dengan benar kurikulum idea, bukan hanya tentang tujuan yang harus dicapai akan tetapi berbagai hal yang berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan itu sendiri.

Apakah setiap kurikulum ideal dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh guru? Tentunya tidak. Setiap sekolah tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan sempurna, karena berbagai alasan. Pertama, bisa atau tidaknya kurikulum ideal diterapkan oleh guru, dapat ditentukan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Misalkan mengamati micro organism, maka setiap anak dapat menggunakan microscope. Kalau kurikulum itu diterima di sekolah yang telah memiliki peralatan semacam itu, maka tentu saja guru dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan kurikulum; tetapi seandainya kurikulum itu harus dijadikan pedoman bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki peralatan semacam itu, tentu kurikulum ideal semacam itu tidak mungkin dapat dilakukan.

Kedua, bisa atau tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan, akan ditentukan oleh kemampuan guru. Misalnya, kurikulum ideal menuntut agar anak dapat menggunakan komputer untuk belajar, dan sekolah memiliki peralatan komputer dengan lengkap, nah tentu saja peralatan yang lengkap itu tidak mungkin dapat dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan kurikulum, manakala guru tidak menguasainya dengan  optimal. Jadi, dengan demikian sarana yang lengkap belum menjamin kurikulum ideal dapat dilaksanakan manakala tidak didukung oleh kemampuan guru.

Ketiga, bisa tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh setiap guru, juga tergantung pada kebijakan setiap sekolah yang bersangkutan. Misalnya, di sekolah tersedia sarana belajar dengan lengkap sesuai dengan tuntutan kurikulum, demikian juga halnya dengan kemampuan guru, tetapi dengan alasan bahwa sarana atau alat tersebut merupakan alat yang mahal dan langka misalnya, maka kepala sekolah mengambil kebijakan alat tersebut tidak boleh digunakan,  maka tidak mungkin kurikulum dapat dilaksanakan dengan optimal. Nah, dengan demikian kebijakan sekolah juga dapat menentukan bisa dan tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh guru.

Ketiga hal tersebut, merupakan faktor yang dapat atau tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh setiap guru. Oleh karena berbagai keterbatasan itu, maka guru hanya mungkin dapat menerapkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Inilah yang kemudian dinamakan actual curriculum atau kurikulum nyata, yakni kurikulum yang secara riil dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada.

Oleh karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi setiap guru khususnya tentang tujuan dan kompetensi yang harus dicapai, sedangkan kurikulum aktual adalah kurikulum nyata yang dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang ada, dengan demikian dapat dipastikan bahwa semakin jauh jarak antara kurikulum ideal dengan kurikulum aktual, artinya apa yang dikerjakan guru tidak sesuai atau jauh dari rambu-rambu kurikulum ideal maka akan semakin rendah kualitas suatu sekolah. Sebaliknya, semakin dekat jarak antara kurikulum ideal dan kurikulum aktual, artinya apa yang dilakukan guru dan siswa sesuai dengan rambu-rambu bahkan melebihi kurikulum ideal sebagai pedoman, maka akan semakin bagi kualitas suatu sekolah atau kualitas proses belajar mengajar.

Gambar 1.6
Keterkaitan Kurikulum Ideal dan Aktual

Garis pertama berwarna merah menunjukkan kurikulum aktual yang dilaksanakan guru menyentuh atau sesuai dengan kurikulum ideal bahkan melebihi kurikulum ideal, maka dapat dipastikan kualitas pendidikan akan meningkat. Sebaliknya, apabila kurikulum aktual yang dilaksanakan guru seperti gambar pada garis kedua, tidak pernah menyentuh bahkan melenceng dari kurikulum ideal, maka dapat dipastikan kualitas pendidikan anak rendah. Misalnya, dalam kurikulum ideal ditetapkan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi berbahasa Inggris, maka sebaiknya siswa menggunakan laboratorium bahasa. Di sekolah yang memiliki sarana yang lengkap dan kreativitas gurunya bagus, ketiak anak belajar bahasa inggris, bukan saja menggunakan laboratorium bahasa akan tetapi juga menggunakan native speaker, apa yang akan terjadi? Tentu saja hasil belajar siswa akan lebih baik. Sebaliknya, manakala kurikulum itu jatuh di sekolah yang tidak memiliki fasilitas seperti laboratorium bahasa, kemudian gurunya tidak kreatif, sehingga pembelajaran akan dilaksanakan seadanya, maka jelas hasil belajar siswa tidak akan optimal. Itulah sebabnya jarak antara kurikulum ideal tidak boleh terlalu jauh dengan kurikulum aktual.

E. Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)
Dalam bukunya The Hidden Curriculum an Overview: Curriculum Perspectives, Seddon (1983) mengungkapkan: “… The hidden curriculum refers to outcomes of education and/or the processes leading to those outcomes, which are not explicitly intended by educators. These outcomes are generally not explicitly intended because they are not stated by teacher in their oral or written list of objective, nor are they included in educational statements of intents such as syllabuses, school policy documents or curriculum projects.” Kurikulum tersembunyi pada dasarnya adalah hasil dari suatu proses pendidikan yang tidak direncanakan. Artinya, perilaku yang muncul di luar tujuan yang dideskripsikan oleh guru.

Kurikulum pada hakikatnya berisi ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu selanjutnya dituangkan dalam bentuk dokumen atau tulisan secara sistematis dan logis yang memerhatikan unsur  scope dan sequence, selanjutnya dokumen tertulis itulah yang dinamakan dengan kurikulum yang terencana (curriculum document or written curriculum). Salah satu isi yang terdapat dalam dokumen kurikulum itu adalah sejumlah daftar tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik. Tujuan itulah yang selanjutnya dijadikan pedoman oleh guru dalam proses pembelajaran sebagai tahap implementasi kurikulum. Pada kenyataannya hasil dari proses pembelajaran itu selain sesuai dengan tujuan perilaku yang dirumuskan juga ada perilaku sebagai hasil belajar di luar tujuan yang dirumuskan. Inilah hakikat dari kurikulum tersembunyi, yakni efek yang muncul sebagai hasil belajar yang sama sekali di luar tujuan yang dideskripsikan.

Kemudian faktor apa saja yang dapat memengaruhi hasil yang tidak direncanakan itu? Ada dua aspek yang dapat memengaruhi perilaku sebagai hidden curriculum itu, yaitu aspek yang relatif tetap dan aspek yang dapat berubah. Yang dimaksud dengan aspek relatif tetap adalah ideologi, keyakinan, nilai budaya masyarakat yang memengaruhi sekolah termasuk di dalamnya menentukan budaya apa yang patut dan tidak patut diwariskan kepada generasi bangsa. Aspek yang dapat berubah meliputi variabel organisasi sistem sosial dan kebudayaan. Variabel organisasi meliputi bagaimana guru mengelola kelas, bagaimana pelajaran diberikan, bagaimana kenaikan kelas dilakukan. Sistem sosial meliputi bagaimana pola hubungan sosial antara guru, guru dengan peserta didik, guru dengan staf sekolah, dan lain sebagainya.

Menurut Bellack dan Kiebard, hidden curriculum memiliki tiga dimensi yaitu:
1.Hidden curriculum dapat menunjukkan suatu hubungan sekolah, yang meliputi interaksi guru, peserta didik, struktur kelas, keseluruhan pola organisasional peserta didik sebagai mikrokosmos sistem nilai sosial.
2.Hidden curriculum dapat menjelaskan sejumlah apa roses pelaksanaan di dalam atau di luar sekolah yang meliputi hal-hal yang memiliki nilai tambah, sosialisasi, pemeliharaan struktur kelas.
3.Hidden curriculum mencakup perbedaan tingkat kesengajaan (intensionalitas) seperti halnya yang dihayati oleh para peneliti, tingkat yang berhubungan dengan hasil yang bersifat insidental. Bahkan hal itu kadang-kadang tidak diharapkan dari penyusunan kurikulum dalam kaitannya dengan fungsi sosial pendidikan.

Dalam dimensi pelaksanaan implementasi kurikulum di dalam kelas atau pengembangan  kurikulum dalam skala mikro, kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) memiliki makna: Pertama, kurikulum tersembunyi dapat dipandang sebagai tujuan yang tidak tertulis (tersembunyi), akan tetapi pencapaiannya perlu dipertimbangkan oleh setiap guru agar kualitas pembelajaran lebih bermakna. Sebagai contoh, ketiak guru hendak mengajar tujuan tertentu melalui metode diskusi, sebenarnya ada tujuan lain yang harus dicapai selain tujuan yang berhubungan dengan penguasaan materi pembelajaran, misalnya kemampuan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau gagasan melalui bahasa yang benar, atau sikap siswa untuk mau mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, kemampuan menyemak dan menentukan permasalahan dan lain sebagainya; atau ketika guru menentukan tujuan agar siswa dapat menuliskan sesuatu, maka sesungguhnya ada tujuan lain yang ingin dicapai yaitu menilai kerapian tulisan siswa, ketepatan menuliskan lambang-lambang tulisan, kemampuan siswa mengeluarkan gagasan melalui bahasa tulisan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dalam konteks ini semakin kaya guru menentukan kurikulum tersembunyi, maka akan semakin bagus juga kualitas proses dan hasil pembelajaran.

Kedua, kurikulum tersembunyi juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang terjadi tanpa direncanakan terlebih dahulu yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalkan, ketiak guru akan mengajarkan tentang serangga (binatang insekta), tiba-tiba lewat jendela kelas muncul seekor kupu-kupu masuk ke dalam kelas, nah, kemunculan kupu-kupu yang tidak direncanakan itu merupakan hidden curriculum yang dapat dijadikan awal pembahasan materi pembelajaran. Dengan demikian semakin kaya guru dengan hidden curriculum, maka akan semakin aktual proses pembelajaran. Selanjutnya, dapatkah Anda memberikan contoh lain pengembangan hidden curriculum?

F. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Di muka dijelaskan bahwa kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi, dengan demikian kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan proses pembelajaran sebagai implementasi dokumen tersebut merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling meng-ada dan meniada-kan: ada kurikulum pasti ada pembelajaran; dan ada pembelajaran ada juga kurikulum.

Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Murray Print, 1993 mencatat peran guru dalam level ini adalah sebagai:
1.    Implementers
2.    Adapters
3.    Developers
4.    Researchers

Pertama, sebagai implementer, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Guru tidak memiliki ruang baiak untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Pada fase sebagai implementator kurikulum, peran guru dalam pengembangan kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang telah disusun. Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru kita dalam pengembangan kurikulum hanya sebagai implementator berbagai kebijakan kurikulum yang dirancang secara terpusat, yakni Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dalam GBPP yang berbentuk matriks telah ditentukan dari mulai tujuan yang harus dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan termasuk penggunaan media dan sumber belajar serta bentuk evaluasi yang harus dilakukan sampai kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan. Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Akibatnya kurikulum bersifat seragam, apa yang dilakukan oleh guru-guru di bagian timur Indonesia, sama dengan apa yang dilakukan oleh guru-guru yang berada di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.

Kedua,peran guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), misalnya para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.

Ketiga, peran sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peranan ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (Mulok) sebagai bagian dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh sebab itu, biasa terjadi kurikulum mulok antar sekolah bisa berbeda. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah.

Keempat, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, menguji strategi dan model pembelajaran, dan sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan  siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yakni metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, akan tetapi secara terus-menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.

Sumber: Sanjaya, Wina, (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

0 komentar:

Posting Komentar